
Jakarta – Subsidi BBM selama ini menjadi beban berat pemerintah. Pemerintahan SBY saja akhirnya “memaksa” konsumen beralih ke BBM non subsidi. Jika dibiarkan, subsidi BBM bisa membengkak lebih dari Rp 300 triliun dari total belanja APBN 2014 sekitar Rp1.842,5 triliun.
Artinya, pilihan untuk mencabut BBM bersubsidi menjadi taruhan bagi Presiden baru yang bakal dilantik 20 Oktober mendatang. Apakah itu dari Jokowi-JK atau Prabowo-Hatta.
Sebenarnya masih banyak cara bisa dilakukan untuk tetap mempertahankan subisi BBM. Misalnya melakukan penghematan atau mencari ladang baru. Namun, sayangnya tidak maksimal dilakukan pemerintah.
Akhir Mei 2014, pemerintah mengumumkan akan memotong anggaran hingga Rp100 triliun sebagai dampak melemahnya pertumbuhan ekonomi tahun ini yang diperkirakan di bawah 5,2 persen dari asumsi sebelumnya Rp5,5-6 persen. Melemahnya perekonomian berimbas pada penerimaan pajak yang menjadi penopang utama penerimaan negara.
Pemangkasan pos pengeluaran APBN 2014, terutama untuk belanja pemerintah, memang tidak akan berefek besar dibandingkan jika memotong subsidi harga BBM meskipun nilai yang dihematnya hanya Rp50 triliun, misalnya.
Bersamaan dengan melesatnya perekonomian Indonesia, perburuan ladang minyak baru di negeri ini malah tidak sehebat pertumbuhan konsumsi BBM. Akibatnya, sejak satu dasawarsa lalu negeri ini menjadi importir minyak. Jumlah kebutuhan BBM per hari saat ini sekitar 1,3 juta barel, sedangkan produksi sekitar 800.000 barel/hari sehingga kekurangannya harus diimpor.
Defisit BBM ini dikhawatirkan semakin membengkak pada tahun-tahun mendatang mengingat jumlah kendaraan bermotor bertambah banyak dan tidak ada upaya berarti untuk mengerem melesatnya konsumsi BBM.
Produksi sepeda motor per tahun dalam kisaran tujuh juta unit, sedangkan mobil 1,2 juta unit/tahun. Sepanjang pertumbuhan ekonomi nasional masih di atas lima persen, berarti pasar otomotif di negeri ini masih tetap berkembang. Artinya, jalan raya semakin macet dan konsumsi BBM kian melesat.
Konsumsi BBM yang membengkak tanpa disertai dengan pengendalian yang berarti dipastikan bakal menggerogoti anggaran negara sehingga kian menekan kemampuan belanja produktif. Pada tahun ini saja diprediksi Rp300 triliun bakal habis “terbakar” untuk menutup selisih harga pasar dengan harga konsumen domestik. Kalau dibiarkan, subsidi BBM bisa membengkak lebih dari Rp300 triliun dari total belanja APBN 2014 sekitar Rp1.842,5 triliun.
Kebijakan meluncurkan mobil murah ramah lingkungan (LCGC) hampir dipastikan tidak akan mengerem konsumsi BBM bersubsidi karena tidak ada rekayasa teknis memadai untuk menutup akses mobil LCGC “menenggak” BBM bersubsidi.
Meskipun dari sisi mutu jauh lebih baik, harga BBM non-subsidi seperti Pertamax masih kelewat tinggi, dalam rentang Rp11.000-Rp12.000 per liter, sementara harga Premium hanya Rp6.500 dan solar subsidi Rp5.500/liter.
Melewati Kuota
Data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan hingga semester pertama tahun 2014, realisasi penyaluran BBM Bersubsidi mencapai 22,91 juta kilo liter (KL) lebih tinggi dari kuota yang direncanakan sebesar 22,81 juta KL. Sementara pada periode yang sama pada tahun 2013 sebesar 22,74 juta KL.
Kenaikan volume BBM bersubsidi ini antara lain disebabkan oleh pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) dan Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), dalam tiga tahun terakhir, rata-rata angka penjualan mobil mencapai 1,1 juta unit per tahun motor 7,6 juta unit per tahun. Sementara untuk tahun 2014, target penjualan mobil adalah 1,25 juta unit dan target penjualan motor 8 juta unit.
Sementara di saat yang bersamaan, walaupun telah dilakukan penyesuaian harga BBM Bersubsidi pada bulan Juni tahun 2013, tingginya disparitas harga BBM bersubsidi dengan BBM non subsidi mengakibatkan migrasi pengguna BBM non subsidi ke BBM subsidi dan di saat yang bersamaan masih terdapat penyalahgunaan BBM bersubsidi, khususnya jenis solar.
Oleh karena itu, Menteri ESDM Jero Wacik mengatakan diperlukan upaya yang sungguh-sungguh agar kuota BBM bersubsidi tidak melebihi kuota yang sudah ditetapkan Pemerintah bersama DPR.
Jero Wacik menjelaskan bahwa pemerintah perlu melakukan pengendalian penggunaan BBM karena UU No.12 Tahun 2014 tentang APBN-P 2014 menyatakan bahwa volume kuota BBM bersubsidi dikurangi dari 48 juta kilo liter menjadi 46 juta kilo liter.
Sementara itu penyaluran BBM bersubsidi mengalami peningkatan pada semester pertama 2014, atau 22,91 juta kilo liter dari jumlah kuota yang direncanakan sebesar 22,81 juta kilo liter.
“Kalau BBM tidak dikendalikan, maka pasokan solar bersubsidi hanya akan cukup sampai November 2014, sementara pasokan premium kalau tidak dikendalikan hanya cukup sampai 19 Desember,” ujar Jero Wacik.
Jero Wacik juga menegaskan bahwa kondisi ini hanya berlaku hingga akhir 2014. “Awal 2015 semua sudah kembali normal, karena sudah ada kuota baru untuk BBM bersubsidi,” pungkasnya.
Jika Presiden terpilih nanti, akan melakukan emangkasan subsidi harga BBM, baik sekaligus maupun bertahap. Berarti menaikkan harga BBM bisa dipastikan bakal memanen protes dan menimbulkan efek berantai (multiplier effects) di sektor-sektor lainnya.
Kenaikan harga premium menjadi Rp6.500/liter dan solar Rp5.500/liter tahun lalu menjadi bukti bahwa diperlukan perhitungan cermat sekaligus mental baja untuk menanggung dampak kebijakan tidak populer tersebut.
Persoalan BBM ini memang harus segera dituntaskan. Jika tidak uang negara yang seharusnya bisa dipakai untuk membangun infrastruktur di tanah air. Tiap hari “dibakar” untuk mensubsidi BBM yang banyak tidak tepat sasaran. Semoga saja.