Kamis, 25 April 24

Benarkah Indonesia Butuh Pemimpin Baru?  

Benarkah Indonesia Butuh Pemimpin Baru?  

Oleh: Ferdinand Hutahaean, Kadiv Advokasi dan Hukum DPP Partai Demokrat

Gaduh tak berkesudahan, bantah lisan tak kunjung berakhir, publik disuguhi polemik tak kunjung usai, kemunduran di mana-mana, ekonomi dan daya beli terpukul, politik riuh bersahutan dengan tensi tinggi, hukum seakan mencari jalannya sendiri. Benarkah saat ini kondisi Indonesia demikian?

Kebanggaan satu-satunya tentang infrastruktur pun harus terpukul dengan berita fakta kecelakaan kerja, beton rubuh, tiang penyangga roboh dan serba roboh lainnya yang merenggut nyawa dan menyisakan luka serta duka yang dalam. Benarkah Indonesia sedang krisis kepemimpinan?

Gempa bumi bersahutan, gunung api tak kunjung berhenti memuntahkan lahar dan debu, laut tak bersahabat dengan menurunnya produksi ikan, garam pun impor, tanah tak lagi menghasilkan swasembada pangan, beras, cabai, bawang dan sayur pun impor. Benarkah tanah bumi pertiwi sedang menunjukkan kegagalan pemimpin bangsa ini?

Sekian banyak cerita dan narasi tentang kehebatan pemimpin dan para pembantunya pun bertebaran diproduksi mulai dari istana dan kantor media yang megah hingga pinggir kaki lima yang dihuni oleh para buzzer politik. Entah mereka dibayar,  entah karena suka rela, entah karena cinta buta, dan entah karena alasan apa pun. Cerita dan narasi hebat itu pun dibangun jauh melampaui kehebatan kinerja sang penguasa. Sah saja, karena memang setiap orang berhak mendeskripsikan dirinya sesuka hati dan membangun citra semaunya, toh itu tidak melanggar undang-undang atau aturan apa pun. Meski etika, kejujuran, dan kebenaran ditabrak dan dihancurkan.

Begitulah sepenggal kisah singkat kondisi bangsa ini yang boleh saya gambarkan dalam sebuah bentuk pertanyaan. Tentu saya boleh menggambarkan itu berdasarkan penilaian saya, dan ini bukan ujaran kebencian yang bisa dipidana, tapi ini sebuah penglihatan dari sudut pandang yang berbeda dengan sudut pandang penguasa. Ketika sudut pandang penguasa menggambarkan dirinya hebat dan berhasil serta mencapai kesuksesan yang melampaui para pemimpin terdahulu, maka saya pun boleh menggambarkan pemimpin dan penguasa sekarang ini gagal, tidak sukses, dan pemerintahan paling buruk dari seluruh pemerintahan sebelumnya. Atau dengan bahasa agak halus, bahwa pemerintah ini hanya besar oleh cerita-cerita hebat dan narasi-narasi fiksi yang dibangun jauh melampui realitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lantas dari sepenggal sudut pandang itu, benarkah Indonesia sudah saatnya mengganti pemimpin? Benarkah Indonesia butuh pemimpin baru? Pemilu 2019 sudah di depan mata dan memulai tahapan-tahapannya, tentu penggantian pemimpin yang dimaksud adalah melalui Pemilu dan bukan dijatuhkan di tengah jalan. Namun bila jatuh sendiri, itu hal lain dan bukan perbuatan makar.

Jika jawaban pertanyaan di atas adalah Indonesia belum butuh pemimpin baru, maka sebaiknya Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak perlu melakukan tahapan-tahapan pemilu yang menghabiskan uang trilliunan rupiah. Cukup menyiapkan sebuah surat keputusan memperpanjang jabatan presiden, murah biayanya dan akan menghemat puluhan trilliun yang bisa digunakan setidaknya membantu dana kesehatan masyarakat.

Namun jika jawabannya adalah Indonesia perlu pemimpin baru, maka pertanyaan selanjutnya adalah: siapa orangnya? Ini jauh lebih menarik dibahas daripada membahas narasi-narasi hebat dan cerita-cerita fiksi tentang keberhasilan penguasa. Bila melihat opini publik saat ini pertarungan masih di antara dua nama Pilpres 2014 silam yang menyisakan polarisasi keras antar-anak bangsa. Namun bila melihat realitas lanjutan mengacu pada hasil survei lembaga-lembaga survei, ternyata banyak yang tak ingin lagi Jokowi dan juga tak mau Prabowo. Ada sekitar 30% lebih kelompok ini. Maka ke mana mereka akan mencari harapan baru dalam demokrasi yang harapannya akan menghasilkan pemimpin baru?

Harapan baru, pemimpin baru. Itulah kesimpulan singkat saya dari hasil lembaga-lembaga survei. Namun ternyata tidak mudah mencari dan menemukan harapan baru itu di tengah kancah politik nasional yang miskin kaderisasi estafet kepemimpinan. Yang tua masih mendominasi, padahal kondisi sekarang tidak lepas dari keputusan politik para yang tua. Merekalah para yang tua itu sumber kondisi sekarang. Sudah tepat yang dilakukan oleh SBY, Ketua Umum Partai Demokrat, untuk melakukan estafet kepemimpinan dengan menyerahkannya kepada yang muda dan melakukan kaderisasi anak-anak muda.

Melihat fakta itu, sudah saatnya yang muda menjadi antitesa dari kondisi sekarang, sudah saatnya yang muda tampil ke depan memimpin bangsa ini. Ini sama saja dengan pemotongan generasi sebagaimana selama ini yang sering menjadi salah satu kesimpulan solusi mengatasi permasalahan bangsa, yaitu pemotongan generasi. Maka tampilnya pemimpin muda adalah implementasi pemotongan generasi. Sudah saatnya yang tua: tut wuri handayani, mendorong dan membimbing.

Kepada yang tua, kami sampaikan, memimpin bangsa ini berat, kalian sudah tidak kuat, istrahatlah. Biarkan kami yang muda yang memimpin dan mewujudkan masa depan bangsa ini menuju Indonesia Emas.

 

Jakarta, 22 Februari 2018

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.