
Jakarta, Obsessionnews – Perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) versus DPRD DKI Jakarta terkait perbedaan anggaran, dimulai ketika Ahok membeberkan kepada publik mengenai ada dana siluman pada Uninterrupible Power Supply (UPS) sekolah di Jakarta. Lantas, pihak DPRD pun menggulirkan hak angket untuk “menjatuhkan” Ahok. Namun, Ahok nekat melaporkan ke KPK soal dugaan sindikasi korupsi di DPRD DKI itu.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, M Taufik, menilai pangkal kekisruhan pengguliran hak angket tersebut adalah karena komunikasi Ahok kurang baik dengan DPRD itu. Selain itu, ia menganggap Ahok melakukan pelanggaran hukum dengan menyerahkan draft APBD kepada Mendagri tanpa ada konsultasi dengan DPRD.
“Karena kami mengganggap di situ sudah ada pelanggaran hukum. Belum disahkan oleh Mendagri, Ahok telah merubah usulan anggaran yang disepakati DPRD sehingga ini reaksi atas angket. Jadi, proses pengesahannya yang dipermasalahkan di sini,” kilah M Taufik dalam dialog di MetroTV, Selasa pagi (1/3/2015), bersama Pengamat politik UI Boni Hargens dan Aktivis ICW Firdaus Ilyas.
“Konsepnya, APBD draf yang diserahkan pada legistlatif untuk dibahas baik di Badan Anggaran DPRD, di BAPD maupun di Komisi SKPD, kemudian diparipurnakan, disahkan, dan disampaikan kepada Kementerian Dalam Negeri supaya dievaluasi. Itu proses yang dijamin oleh UU, masalahnya sekarang yang disampaikan ke Mendagri oleh Ahok bukan yang dibahas ini. Kalau ada perbedaan berarti dia juga berbuat salah, kalau berbuat salah bisa didiskusikan,” ucap Taufik.
Haruskah Digulrikan Hak Angket?
Pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Boni Hargens yang hadir dalam dialog tyersebut justru mempertanyakan semangat DPRD DKI Jakarta yang begitu mengebu-gebu menggulirkan hak angket untuk Ahok. Ia pun mempertanyakan, mengapa DPRD menyatakan 100% hak angket terhadap Ahok. “Kenapa tidak hak interpelasi dulu?” ujarnya mempertanyakan.
“Saya kira, kita harus mengerti bahwa persoalan korupsi berkembang secara teori bukan lagi perkara ada cela hokum, tapi justru karena ada produksi hukum yang didesain sedemikian rupa secara kolektif secara sistematis, yang disebut korupsi modern,” jelas Boni.
Jadi, lanjutnya, kalangan anggota DPRD DKI memakai kebijakan untuk merampok negara secara sistemik. “Pola-pola ini di dalam praktek misalnya dengan pengajuan anggaran oleh DPRD termasuk DPR pusat begitu juga penganggaran di tingkat birokrasi, kementerian sampai lapis dinas kabupaten. Ini pola-pola yang kelihatannya melegalkan benar, tetapi ini cara samar untuk merampok negara,” bebernya.
“Saya menduga ada keuntungan yang tidak sedikit dalam penganggaran ini di dalam hak budgeting yang dipertahankan dan diperjuangkan oleh DPRD ini ada maksud-maksud yang memang betah, Ahok ini menabrak mendekonstruksi logika korupsi sistemik, kalau mau menanyakan hal itu kan DPRD cukup dengan interpelasi,” tutur Boni.
“Kalau mau komunikasi Semestinya interpelasi aja dulu, kalau memang DPRD punya niat baik untuk sekedar mempertanyakan kenapa Ahok melompat kok tiba-tiba angket, interpelasi dulu. Besar kemungkinan ada preteksi untuk menjatuhkan Ahok,” tambahnya.
Apa Kewenangan DPRD
Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas pun menegaskan, di DPRD tidak ada hak budgeting, tetapi yang ada hanyalah fungsi anggaran. ”Kalau bicara APBD, maka APBD itu baru bisa disahkan ketika kedua belah pihak sama-sama setuju. Kalau kita membuat degradasi ketika dalam komisi, apakah kewenangan DPRD itu hanya sebatas unit fungsi dan program atau sampai detail kegiatan,” tegasnya.
“Saya juga tidak melihat dalam UU bahwa DPRD memiliki kewenangan sampai di Badan Anggaran,” tandas Aktivis ICW.
Menurut Firdaus, persoalan DPRD sekarang adanya pergerseran akumulasi belanja. “Jika akumulasi Rp73 triliun itu program dan sama-sama disepakati memiliki unit, fungsi dan program yang sama, saya pikir tidak ada perbedaan. Kalau terjadi perbedaan kalau sama-sama menahan diri artinya tidak ada skema terakhir dalam ke undang-undangan negara. Kalau nomenklaturnya sepakat, tidak ada persoalan, tapi ini sampai detailnya terjadi pergeseran,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Boni Hargens menambahkan, yang memiliki hak budgeting itu pihak eksekutif. “Sebetulnya kewenangan anggaran itu sepenuhnya di eksekutif, fungsi budgeting yang kemudian ada turunannya tidak terlalu besar dan tidak signifikan, sebetulnya ini mengawasi, memonitor apakah anggaran yang diajukan eksekutif ini sesuai apa tidak,” paparnya.
“Ini sudah selesai 27 Januari, ada perubahan kemudian di bawah di paripurna. Kita itu berjalan sesuai aturan yang ada ini kan Peraturan Pemerintah (PP) yang buat Mendagri yang buat harus ada pembahasan anggaran komisi dengan unit-unit, kita main di situ, apa salah main di situ. Bahwa kalau ada pemanfaatan itu soal lain, tapi mainnya dulu disitu,” tandas Boni.
Namun, Taufik menyela di saat Boni menyatakan hal ini. “Tapi kan memungkinkan terjadi perubahan, SKPD ikut lewat Badan Anggaran, perintah UU kita sudah jalankan,” belah Taufik di sela-sela dialog. (Asma)