Rabu, 24 April 24

Belum Sepekan Damai, Hak Interpelasi Sudah Dipermasalahkan

Belum Sepekan Damai, Hak Interpelasi Sudah Dipermasalahkan

Jakarta – Kesepakatan yang telah ditandatangani oleh kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan Koalisi Merah Putih (KMP) tampaknya tidak akan berjalan lama. Pasalnya, belum ada sepekan kesepakatan itu dibahas, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) s‎udah mulai mempersoalkannya.

‎Aroma kecurigaan itu datang dari politikus PDI-P, Aria Bima. Ia menuding hak interpelasi yang diajukan oleh Koalisi Merah Putih, tidak lain hanya untuk menggangu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Bahkan bisa jadi, Aria curiga ada agenda politik yang lebih besar dari pada hal itu.

“Bisa jadi ada agenda politik dibalik itu, meski hak interpelasi secara normatif sah,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (20/11/2014).

Dalam kesepakatan awal, hak interpelasi termasuk pembahasan yang akan direvisi dalam pasal ‎78 Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Dalam kesepakatan tersebut hak interpelasi bukan lagi menjadi tugas komisi, tapi akan menjadi hak semua anggota dewan.

Apabila ketentuannya demikan, maka Aria khawatir bahwa hak interpelasi pada dasarnya bukan dibuat untuk menjalankan tugas dan fungsi DPR sebagai mana mestinya. ‎Dibalik itu justru kata Aria, hak interpelasi bisa disalah artikan karena pembahasanya bukan menyangkut pada persoalan subtansi benar salah, tapi kepentingan siapa dengan siapa.

Menurut Aria, kondisi DPR saat ini berbeda dengan dulu. Sekarang, muatan politik di DPR semakin kental dan lebih terbuka secara terang-terangan dan, orientasinya hanya satu, menang dan kalah. Hal itu bisa ia rasakan, ketika Koalisi Indonesia Hebat beberapa kali kalah dengan Koalisi Merah Putih karena kekuatan mereka jauh lebih besar.

“Mereka bisa menggunakan apa pun di DPR karena kuat. Jumlahnya banyak,” terangnya.

‎Sementara itu, pengamat hukum tata negara Refly Harun juga menilai  ‎hak interpelasi hanya akan menimbulkan kekacauan politik di DPR. Pasalnya, semua anggota bisa diributkan dengan banyaknya pendapat untuk menyikapi kebijakan pemerintah, padahal belum tentu pendapat itu baik dan juga rasional.

Menurut Refly, lebih baik hak interpelasi dikembalikan ke komisi dan hanya bisa dilakukan melalui sidang paripurna. Hal itu demi menjaga stabilitas politik di DPR sebagai mitra kerja pemerintah. “Lebih baik diserahkan di sidang paripurna untuk menjaga stabilitas politik, karena cenderung akan banyak keributan,” ujarnya Rabu (19/11/2014).

‎Selain itu, Refly juga menilai DPR cukup mengunakan hak jawab saja dalam menyikapi kebijakan pemerintah. Ia khawatir kesepakatan yang sudah dibangun antara kedua kubu di DPR tidak akan berjalan lama jika hak interpelasi itu kemudian akan direvisi. Bisa jadi kata Refly, DPR menjadi tidak produktif lagi.

‎Diketahui, munculnya hak interpelasi pertama kali diwacanakan oleh kubu Koalisi Merah Putih. Sikap itu semakin menguat untuk merespon kebijakan pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang telah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp 2000 per liternya.

Sekretaris Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo juga mengatakan, ‎DPR berencana akan mengeluarkan hak angket, apabila pemerintah tidak bisa menjelaskan kenaikan BBM secara rasional. Saat ini kata Bambang, anggota dewan cukup dikerahkan untuk mengunakan hak interpelasi khususnya bagi fraksi pendukung Prabowo.

“Jika jawaban Presiden tak memuaskan, kami akan menggunakan hak angket sebelum menggunakan hak menyatakan pendapat,” jelasnya.

Para kubu Koalisi Merah Putih menuding, Jokowi telah melanggar Undang-Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2014, karena berani menaikan harga BBM, pada saat harga minyak dunia turun. (Abn)

 

Related posts