Wakil Menteri Perdagangan RI, Bayu Krisnamurthi. (ist)
Gia
Jakarta– Wakil Menteri Perdagangan RI, Bayu Krisnamurthi menggelar konferensi Pers mengenai hasil kunjungannya menghadiri sidang Trade Policy Review (TPR) Indonesia yang ke-6 pada 10-12 April 2013 di kantor World Trade Organization (WTO) di Jenewa.
Bayu selaku ketua Delegasi Republik Indonesia (Delri) pada pertemuan tersebut menegaskan kepada seluruh negara anggota WTO bahwa kebijakan perdagangan Indonesia merupakan ‘living policies’ yang terbuka terhadap perubahan untuk mengakomodir perkembangan perekonomian nasional dan global.
“Dalam sidang tersebut, saya menggarisbawahi bahwa Indonesia berada dalam posisi mendukung sistem perdagangan multilateral yang mendorong perdagangan adil atau fair trade, terutama di tengah krisis perekonomian global yang sedang terjadi saat ini,” terangnya.
Indonesia dalam sidang TPR kali ini menerima sekitar 750 pertanyaan dari 26 negara anggota WTO. Secara garis besar, para negara anggota tersebut menanyakan mengenai kebijakan importasi produk pertanian, termasuk di dalamnya perizinan impor, inspeksi pada saat sebelum pengapalan (pre-shipment inspection), pintu masuk pelabuhan (designated port of entry), sanitary and phytosanitary (SPS); kebijakan investasi yang terdiri dari divestasi, kepemilikan saham sektor perbankan, kandungan lokal (local content); kebijakan pembatasan ekspor khususnya untuk biji mineral; trade remedies; serta Government Procurement Agreement (GPA) dan Information Technology Agreement (ITA) Expansion.
Menanggapi hal ini kata Bayu, Indonesia menjawabnya dalam lima topik pembahasan, yaitu kebijakan umum, kebijakan impor dan ekspor, kebijakan investasi, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan isu-isu lainnya.
Kebijakan umum mencakup pemaparan mengenai MP3EI dan Kawasan Ekonomi Khusus yang menjadi fokus utama pemerintah Indonesia dalam mendorong perekonomian nasional. Wamedag dalam hal ini menyampaikan bahwa kebijakan ekspor-impor Indonesia didasarkan pada kepentingan keamanan, keselamatan, kesehatan, lingkungan, perlindungan HKI, sosial, budaya, serta moral hazard.
Terkait kebijakan investasi, Bayu menjelasan mengenai Undang-Undang Investasi, termasuk daftar negatif investasi, serta penjelasan mengenai ‘one stop investment services’ yang bertujuan untuk menyederhanakan prosedur perizinan investasi.
Sementara mengenai HKI, Bayu memaparkan bahwa sejumlah peraturan nasional telah sejalan dengan ketentuan internasional. Namun demikian Indonesia masih perlu meningkatkan penegakan hukum mengingat luasnya wilayah Indonesia.
Pada sidang hari kedua, Bayu memberikan tanggapan terhadap sejumlah concern yang disampaikan beberapa negara anggota WTO, terutama mengenai kurangnya koordinasi dalam penetapan kebijakan. “Saya menyampaikan kepada mereka bahwa Indonesia sedang dalam proses memperkuat good governance melalui reformasi birokrasi yang dilaksanakan pada tahun 2010-2025, dan ini penting dilakukan Indonesia guna berbenah diri untuk menghadapi tantangan ke depan,” ujarnya.
Kemudian, Bayu juga menegaskan pentingnya peran sentral sektor pertanian karena 40% buruh bergantung pada sektor tersebut. Beragam kebijakan di sektor pertanian diambil pemerintah Indonesia, mulai dari perizinan impor, Sanitary and Phytosanitary (SPS,) pemeriksaan sebelum pengapalan hingga menentukan pintu masuk impor, untuk menjamin produk hortikultura yang diimpor aman dikonsumsi masyarakat Indonesia.
Terkait perizinan impor, Bayu mengatakan bahwa saat ini sedang dilakukan konsultasi di dalam negeri untuk meninjau lebih jauh kesesuaian kebijakan tersebut dengan ketentuan-ketentuan WTO.
Menanggapi dorongan sejumlah negara anggota WTO agar Indonesia bergabung ke dalam GPA dan ITA Expansion, Bayu menjelaskan bahwa Indonesia masih memerlukan ruang guna memperkuat daya saing industri dalam negeri. “Kami berkomitmen untuk terus menyederhanakan prosedur terkait Government Procurement, termasuk pengembangan sistem e-procurement. Sedangkan terkait ITA Expansion, Indonesia masih memerlukan waktu lebih lama untuk bergabung dalam perundingan isu tersebut,” imbuhnya.
Sidang TPR yang kali ini dipimpin oleh Duta Besar Swedia untuk WTO, Joakim Reiter, selaku Ketua TPR Body WTO ini, bertujuan untuk menciptakan transparansi atas peraturan-peraturan terkait perdagangan yang dilaksanakan oleh para negara anggota WTO. Wamendag menilai mekanisme TPR ini penting dalam memperkuat sistem perdagangan multilateral. “Melalui mekanisme ini, kita dapat mengukur sejauh mana dampak kebijakan yang kita ambil terhadap perekonomian mitra dagang kita. Pada kesempatan ini kita juga dapat bersama-sama mencari solusi alternatif bagi penerapan kebijakan perdagangan,” jelasnya. (rud)