Sabtu, 27 Juli 24

Baru Klinthing di Danau Rawa Pening

Baru Klinthing di Danau Rawa Pening
* Pemandangan Rawa Pening begitu luas membuat betah mata untuk menikmatinya. (Foto: Yusuf Isyrin Hanggara/obsessionnews.com)

Semarang, obsessionnews Anak kecil itu berteriak lantang seraya menancapkan sebatang lidi ke tanah. “Wahai kalian semua, jika kalian merasa hebat cabutlah lidi yang kutancapkan ini!” serunya kepada warga desa. Merasa diremehkan, satu-persatu warga mencoba tantangan itu. Dan mereka heran bukan kepalang, karena tak seorang pun bisa mengeluarkan lidi dari tempatnya. Sang bocah kemudian menarik lidi, lalu keluar air yang sangat deras. Penduduk desa berakhir binasa tenggelam akibat kesombongannya.

Baru Klinthing namanya. Seorang bocah tanggung penjelmaan seekor naga yang baru dimakan beramai-ramai oleh penduduk desa tadi. Kisah ini bermula dari sepasang anak manusia bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta. Sang istri sudah lama mendambakan buah hati. Mendengar kegelisahan istri tercinta, Ki Hajar pergi bertapa di Gunung Telomoyo.

Ilustrasi Baru Klinthing terlahir dalam bentuk seekor naga. (Foto: wordpress.com)
Ilustrasi Baru Klinthing terlahir dalam bentuk seekor naga. (Foto: wordpress.com)

Sepeninggal suami, tiba-tiba saja Nyai Selakanta hamil. Tanpa diduga ia melahirkan bayi berwujud naga. Anak itu dinamai sesuai tombak milik suami bernama Baru Klinthing. Kaget bercampur malu Nyai Selakanta tetap membesarkan naga kecil itu hingga besar. Beranjak remaja, Baru Klinthing diutus oleh ibunda untuk menemui sang ayah yang tengah bersemedi. Perjalanan jauh ditempuh Baru Klinthing hingga akhirnya mencapai tempat persemedian Ki Hajar. Di hadapan sang ayah, Baru Klinthing diberi tugas mengelilingi Gunung Telomoyo untuk membuktikan jati diri sebagai putra tunggalnya.

Di luar dugaan, Baru Klinthing berhasil menuntaskan amanat ayahanda. Kemudian ia diperintahkan Ki Hajar bertapa di lokasi yang sama agar bisa menjadi manusia. Selama bertapa, datang sekumpulan warga desa di lembah Gunung Temoloyo dan Gunung Merbabu mencari hewan buruan. Ditemukanlah Baru Klinthing dan mereka membantai naga itu. Daging Baru Klinthing dijadikan perjamuan pesta para penduduk desa. Dari situlah Baru Klinthing murka dan berubah menjadi seorang anak kecil penuh luka.

Berjalan gontai tanpa arah Baru Klinthing kemudian menemukan sebuah desa. Tak dinyana, ternyata warga desa itu adalah orang-orang yang membunuh dirinya ketika masih berupa naga. Letih dan lelah akibat luka yang diderita, Baru Klinthing meminta makanan dari mereka. Bukan malah membantu, warga desa itu merasa jijik dan mengusir Baru Klinthing. Hingga akhirnya ia bertemu seorang wanita tua yang dengan baik hati mau menolong penjelmaan naga tersebut.

Sang anak malang kemudian berterima kasih kepada nenek itu dan berujar,“Jika nanti terdengar gemuruh besar, maka bersembunyilah ke dalam lesung beras.”

Tak disangka suara gemuruh benar terjadi. Gelombang air raksasa melibas desa kecil tadi dan seketika berubah menjadi danau besar bernama Rawa Pening.

Soeharto
Soeharto

Itulah sekelumit cerita yang diceritakan Soeharto, sewaktu disambangi obsessionnews.com di pondok kecil di tepi danau, Senin (23/3). Soeharto sejak kecil mendengar mitos Baru Klinthing. Dia dengan ramah menceritakan legenda Danau Rawa Pening di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah (Jateng) yang diteruskan dari mulut ke mulut.

“Warga di sini percaya saat ini Naga Baru Klinthing masih ada bersemayam di dasar danau. Kadang kalau lagi bejo jika ada orang bertemu sang naga di malam hari, biasanya di pagi hari ia gampang cari ikan,” tuturnya sambil sesekali menyeduh kopi.

Perahu penampung lumpur ini mengeruk endapan sedimen kotoran di bawah danau. Dari tangan merekalah banyak pupuk di toko beredar.
Perahu penampung lumpur ini mengeruk endapan sedimen kotoran di bawah danau. Dari tangan merekalah banyak pupuk di toko beredar.

Perahu penampung lumpur ini mengeruk endapan sedimen kotoran di bawah danau. Dari tangan merekalah banyak pupukl di toko beredar (3)

Warga Desa Sumurup, Kecamatan Bawen, memang rata-rata berprofesi sebagai nelayan ikan. Rawa Pening bukan hanya sebuah danau, tapi juga bagian hidup. Tiap hari Soeharto mencari ikan dan menyewakan perahu buatannya sendiri. Berbagai jenis ikan ditemui di ekosistem air tawar terbesar di Jateng ini. Soeharto bisa mendapatkan ikan hampir 12 kg jika musim sedang bagus. Mulai dari ikan mujair, nila,betutu, wader bahkan gurami dengan mudah diambil. Sedangkan bila angin selatan sedang tidak berpihak, delapan kg masih bisa didapatnya. Ikan dihargai Rp 12.000/kg di pasar. Berbeda jika ikan sedang bertelur. Rp 15.000/kg bisa ia dapatkan dalam satu hari. Ia biasa memasang jaring pukul jam 16.00 WIB dan ditinggal di tengah danau. Baru di pagi hari Soeharto mengecek jaring untuk mengambil tangkapan ikan dan dijual ke pelanggan.

Seorang nelayan asyik mencari ikan
Seorang nelayan asyik mencari ikan

Bukan hanya mencari ikan, Soeharto juga kreatif menyewakan perahu-perahu kecil bikinan tangan kepada pemancing. Dari sepuluh perahu miliknya, empat buah ia sewakan seharga Rp 50.000/hari. Untuk perahu kecil dihargai lebih murah, hanya Rp 15.000/hari dengan konsekuensi hanya dua orang di dalam perahu. Penghasilannya bisa dibilang lumayan karena dari hasil menyewakan perahu dan menjaring ikan, ia bisa membuka warung makan sendiri.

“Warung makan ini dibangun di atas air. Pemandangannya bagus, dan banyak orang yang ke sini untuk melepas lelah,” tutur pria berambut pendek ini.

Hampir keseluruhan bagian danau dimanfaatkan dengan baik oleh warga sekitar. Ada beberapa perahu berlumurkan lumpur kotor terparkir di pinggir pondok milik Soeharto. Dia menjelaskan perahu itu dipergunakan mengangkut lumpur dari dasar danau untuk dijadikan pupuk. “Diambilnya pagi jam 04.00 WIB. Sayang, sampeyan (kamu, red) kesiangan ke sini, he he he….,” terang Harto terkekeh.

Di tengah danau terlihat keramba-keramba kecil mengapung. Soeharto menerangkan keramba itu digunakan untuk pembesaran ikan. Biasanya warga menangkap ikan-ikan kecil, kemudian dibesarkan secara manual sampai mencapai ukuran diinginkan.

Yang menarik, beberapa orang terlihat dari kejauhan sedang memangkas enceng gondok. Ya, enceng gondok memang menjadi hama bagi para nelayan. Selain mengganggu, tanaman hijau berdaun tebal ini sudah menutupi hampir ratusan hektar luas Rawa Pening. Berbekal perahu sewaan, obsessionnews.com perlahan-lahan menyambangi orang-orang tersebut. Salah seorang di antaranya memakai caping dan bernama Utomo, warga Dusun Cikal, Kecamatan Tuntang. Rupanya ia memangkas enceng gondok sebagai stok material kerajinan. “Ini sudah dikeringkan, terus dikumpulin di pengepul mas. Nanti dari pengepul baru dijual lagi ke perajin eceng gondok,” katanya di tengah terik matahari.

Bukan hal mudah berdiri di atas perahu kecil sambil memangkas hama ‘bermanfaat’ ini. Biasanya, enceng gondok kering dipatok oleh pengepul sebesar Rp 4.200/kg. Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan adalah batang saja. “Setengah hari bisa dapat 10 kg, lumayan buat tambahan,” katanya sambil tersenyum lebar.

Seperti diketahui, eceng gondok dapat dibuat menjadi kain atau baju di industri kreatif. Banyak perajin berasal dari Solo, Temanggung, dan Pekalongan mengambil bahan baku dari Rawa Pening.

Menuju ke lokasi Rawa Pening terbilang cukup mudah. Tinggal mengikuti jalan utama melalui Solo, Yogyakarta atau Semarang, pastilah pengunjung melewati danau legenda Baru Klinthing ini. Sedangkan bila ingin menyewa kapal, bergeraklah ke desa-desa di pinggir danau. Banyak warga menyediakan jasa penyewaan perahu dan alat memancing.

Matahari pun mulai kembali ke peraduan. Temaram sore sangat nikmat dirasa sambil beristirahat di pondok apung. Ditemani secangkir teh hangat, pemandangan Rawa Pening makin cantik untuk dilihat. Sudah sepantasnya destinasi wisata murah ini layak dicoba bagi anda para petualang. (Yusuf IH)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.