Selasa, 23 April 24

Bahaya, Menteri ESDM Terlalu Textbook Ikuti Bank Dunia

Bahaya, Menteri ESDM Terlalu Textbook Ikuti Bank Dunia

Jakarta, Obsssionnews – Rencana Menteri ESDM Sudirman Said untuk melakukan perubahan harga BBM mengikuti harga pasar setiap bulan atau bahkan setiap dua minggu telah menimbulkan reaksi di berbagai kalangan. Mulai dari para pebisnis nasional, anggota DPR Komisi VII, hingga pengamat ekonomi, semua kompak menolak kebijakan ini. Senada dengan mereka, peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP) Gede Sandra memiliki pandangan kritis.

“Secara umum kebijakan ini akan menyebabkan kaum pebisnis nasional menjadi sulit memprediksi jalannya perekonomian nasional dan imbasnya juga adalah akan terciptanya instabilitas sosial politik di kalangan masyarakat. Aspek yang belakangan jelas akan membuat posisi pemerintah semakin rawan, mengingat 1-2 bulan ke depan adalah masa puncak-puncaknya pergerakan politik nasional,” tandas Gede Sandra kepada Obsessionnews, Sabtu (11/4/2015).

Selain itu, Gede juga menilai kebijakan Menteri ESDM ini terlalu bersifat eksperimental dengan menjadikan rakyat sebagai kelinci percobaannya, tanpa mengetahui persis situasi permasalahan yang sebenarnya terjadi. Sayangnya menteri-menteri lain, yang kualitasnya sesama “KW 2”, juga melakukan hal yang terlalu bersifat eksperimental semacam ini.

“Kebijakan penyesuaian harga BBM setiap 2 minggu ini jelas terlalu bersifat textbook dan terlalu mengikuti saran Bank Dunia. Kita tahu kebanyakan text book ekonomi pasti mengambil kasus dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), dan Bank Dunia sendiri juga berlokasi di AS. Padahal kita tahu sifat pasar di AS sangat kompetitif, sehingga bila harga BBM di sana naik atau turun dalam tempo singkat dapat langsung diikuti dengan fleksibel oleh para pelaku bisnis,” mantan aktivis ITB ini

Sedangkan menurut Gede, sifat pasar di Indonesia masih tidak kompetitif. Di sini masih terdapat fenomena yang disebut downward price rigidity, yaitu suatu kondisi di mana harga yang sudah terlanjur naik akan sulit untuk turun kembali. Hal ini dikarenakan salah satunya oleh pasar yang tidak kompetitif tersebut.

“Belum lagi di Indonesia juga kerap terjadi mekanisme penentuan harga secara rounding up atau pembulatan ke atas. Hal inilah yang membuat harga yang terbentuk di pasar menjadi naik secara tidak wajar,” ungkap pengamat ekonomi lulusan magister FE Universitas Indonesia (UI) ini. (Asma)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.