Kamis, 25 April 24

Bagi Jakob Oetama: Wartawan adalah Profesi, Tetapi Pengusaha Karena Keberuntungan

Bagi Jakob Oetama: Wartawan adalah Profesi, Tetapi Pengusaha Karena Keberuntungan
* Jakob Oetama. (Foto: Ist)

Jakarta, Obsessionnews.com — Pendiri Kompas Gramedia sekaligus Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama (88) meninggal dunia di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (9/9/2020). Jenazah rencananya akan dibawa ke tempat persemayaman di Gedung Kompas Gramedia.

 

Baca juga: Pendiri Kompas Jakob Oetama Meninggal, Ini Profil Singkatnya

 

“Bapak akan disemayamkan di kantor, di gedung Kompas Gramedia, Jalan Palmerah Selatan,” ujar Direktur Corporate Communication Kompas Gramedia Rusdi Amral.

Rencananya, jenazah dimakamkan Kamis (10/9/2020) besok di Taman Makam Pahlawan Kalibata. “Karena Bapak juga pemegang penghargaan Bintang Mahaputra, akan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, besok siang,” ujar Rusdi Amral.

Jakob Oetama lahir di Borobudur, Magelang, 27 September 1931. Semasa hidupnya, ia memilih jalan sebagai wartawan hingga mendirikan jaringan media terbesar, Kompas Gramedia, bersama rekannya, Petrus Kanisius Ojong (P.K. Ojong). Persentuhannya dengan jurnalistik terjadi ketika dia mendapat pekerjaan sebagai sekretaris redaksi mingguan Penabur.

Pada 1963, bersama rekan terbaiknya, Almarhum PK Ojong, Jakob Oetama menerbitkan majalah Intisari yang menjadi cikal-bakal Kompas Gramedia. Kepekaannya pada masalah manusia dan kemanusiaanlah yang kemudian menjadi spiritualitas Harian Kompas, yang terbit pertama kali pada 1965.

Hingga lebih dari setengah abad kemudian Kompas Gramedia berkembang menjadi bisnis multi-industri, Jakob Oetama tidak pernah melepas identitas dirinya sebagai seorang wartawan. Baginya, “Wartawan adalah Profesi, tetapi Pengusaha karena Keberuntungan.”

Jakob Oetama dikenal sebagai sosok sederhana yang selalu mengutamakan kejujuran, integritas, rasa syukur, dan humanisme. Di mata karyawan, ia dipandang sebagai pimpinan yang ‘nguwongke’ dan tidak pernah menonjolkan status atau kedudukannya.

Almarhum berpegang teguh pada nilai Humanisme Transendental yang ditanamkannya sebagai fondasi Kompas Gramedia. Idealisme dan falsafah hidupnya telah diterapkan dalam setiap sayap bisnis Kompas Gramedia yang mengarah pada satu tujuan utama, yaitu mencerdaskan kehidupan Bangsa Indonesia.

Kelahiran Kompas tidak terlepas dari permintaan Menteri/Panglima TNI AD Letjen Ahmad Yani, melalui Menteri Perkebunan Frans Seda dari Partai Katolik, agar partai tersebut mendirikan surat kabar. Saat itu, hampir semua partai yang ada di Indonesia memiliki corong partai.

Setidaknya, ada tiga konstelasi politik yang berkembang kuat ketika itu. Pertama, Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi dan Kepala Pemerintahan yang mengonsolidasikan kekuatan dan kekuasaan politiknya melalui pengembangan demokrasi terpimpin. Berikutnya, ada ABRI yang berusaha meredam kekuatan politik Partai Komunis Indonesia melalui kerja sama dengan organisasi-organisasi masyarakat dan politik non atau anti-komunis.

Gagasan Ahmad Yani, Partai Katolik perlu memiliki sebuah media untuk mengimbangi kekuatan PKI. Jakob dan Ojong kemudian sepakat untuk mendirikan sebuah surat kabar yang diharapkan dapat menjadi sebuah jalan tengah.

Meski lahir dari inisiatif tokoh Partai Katolik, koran itu bukan menjadi corong partai. Sebab, koran baru yang akan berdiri saat itu diharapkan dapat berdiri di atas semua golongan.

Oleh karena itu, koran tersebut harus bersifat umum, didasarkan pada kenyataan kemajemukan Indonesia, harus menjadi cermin realitas Indonesia, mengatasi suku, agama, ras, dan latar belakang lainnya.

“Dia (koran itu) harus mencerminkan miniaturnya Indonesia,” kata Jakob, seperti dilansir VIK bertajuk “Jakob Oetama 85th: The Legacy”.

Semula, nama “Bentara Rakyat” yang hendak dipilih untuk nama koran baru itu. Nama itu bertujuan untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Moto yang dipilih adalah “Amanat Penderitaan Rakyat”. Koran itu juga ditegaskan bukanlah koran partai, melainkan sarana untuk kemajuan Indonesia yang berpijak pada kemajemukannya.

Ketika Frans Seda bertemu dengan Bung Karno dan mengusulkan nama tersebut, Presiden RI pertama itu tidak menyetujui nama tersebut. Bung Karno pun berkata, “Aku akan memberi nama yang lebih bagus…’Kompas’! Tahu toh, apa itu Kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba!”.

Jadilah nama pemberian Bung Karno itu digunakan sebagai nama koran hingga sekarang. (Has)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.