Sabtu, 3 Juni 23

Bagaimana Mafia Gerogoti Keuangan Migas?

Bagaimana Mafia Gerogoti Keuangan Migas?

Jakarta – Bisnis migas di Indonesia adalah bisnis yang bernilai ribuan triliun rupiah. Pantaslah para sindikat sagat berambisi menguasai sektor migas nasional mulai dari hulu sampai ke hilir dengan cara mendorong kebijakan liberalisasi dan menghilangkan peran negara dalam sektor ini.

Namun, kata Salamuddin Daeng,  yang pasti muara dari seluruh praktek mafia dalam pengelolaan migas tersebut adalah kebocoran, korupsi dan intervensi kekuasaan, yang menyebabkan berpindahnya kekayaan rakyat ke tangan sindikat dan mafia.

“Bayangkan saja transaksi dihulu melibatkan 850 ribu barel minyak per hari atau senilai Rp1,6 triliun sehari atau sebesar Rp387,6 triliun per tahun,” ungkap Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Jakarta ini, Selasa (16/9/2014).

Ia membeberkan, Indonesia melakukan ekspor minyak senilai 455,000 bbl/d dengan nilai transaksi mencapai Rp207,5 triliun setahun. Selanjutnya Impor minyak Indonesia mencapai 506,000 bbl/d dengan nilai transaksi sebesar Rp230,7 triliun setahun (survey EIA 2013). Sementara data BPS nilai impor minyak 2013 sebesar US $ 42,14 miliar atau Rp501,4 triliun.

Sementara, lanjutnya, Pertamina sendiri sebagai BUMN yang diberi hak mengelola minyak bagian Negara yang diserahkan oleh kontraktor swasta dan produksi pertamina sendiri serta usaha usaha lainnya pertamina dengan revenue US$ 71,1 miliar atau sekitar Rp846,1 triliun. Selain itu, negara membiayai cost recovery untuk menggantikan seluruh b iaya operasional yang dikeluarkan perusahaan minyak senilai US 16,5 miliar atau sekitar Rp196,3 triliun.

Selanjutnya nilai produksi gas nasional sebesar mencapai 1,517 juta barel setara minyak per hari (ESDM, 2013) atau senilai Rp. 270.6 triliun. Ditambah dengan nilai ekspor gas nasional senilai US$ 18,129 miliar atau mencapai Rp.220,1 trilun (survey BPS, 2013) dan Impor gas senilai US$ 3,113 miliar atau sekitar Rp 37,24 triliun. (sumber survei BPS).

“‎Selanjutnya nilai perdagangan BBM di Indonesia baik untuk kebutuhan industry, transportasi dan rumah tangga, baik yang bersubsidi maupun tidak bersubsidi mencapai Rp. 286,7 trilun yang terdiri dari konsumsi premium dan solar,” tandas Salamuddin.

Dari data data tersebut, menurutnya, secara garis besar transaksi dalam migas oleh berbagai level dan pelaku yang bermain dalam industry ini sedikitnya senilai Rp 2.700 triliun. Fragmentasi dalam pengeloaan migas yang terpecah dari hulu sampai ke hilir akan menjadi ruang bagi bermainya kartel, sindikat dan mafia.

Diungkapkan pula, penciptaan ruang bagi para sindikat dan mafia dilakukan oleh pemerintah dan DPR yang sebagian diantara mereka terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam industry migas. Para pengambil kebijakan cenderung secara terus menerus memproduksi kebijakan dalam rangka memaksimalkan profit yang dapat diperoleh oleh sindikat sindikat dalam pengelolaan migas.

“Para kontraktor swasta dapat melakukan berbagai macam upaya dalam memanipulasi produksi, dana cost recovery dalam rangka memaksimalkan penerimaan mereka. Lemahnya kontrol negara menyebabkan perusahaan perusahaan swasta dapat dengan sangat ekslusif menjalankan bisnis mereka dan jauh dari kontrol masyarakat,” tegas Salamuddin.

“Sementara aparat negara mulai dari yang berada pada institusi penyelenggara migas, hingga aparat penegak hukum cenderung menjadikan seluruh pelanggaran, kecurangan, manipulasi dan pelanggaran hukum yang dilakukan kontraktor dan pelaku usaha migas mulai dari hulu sampai ke hilir sebagai ajang pemerasan,” tandas Peneliti dan pengamat ekonomi The Institute for Global Justice (IGJ) ini.

Sementara rakyat secara terus menerus harus membayar mahal harga minyak dan gas yang semakin tinggi. “Harga tersebut adalah harga atas hilangnya kedaualatan rakyat atas kekayaan alam dan harga atas penyerahan diri pada kekuasaan para mafia dan sindikat yang mengontrol politik dan pemerintahan,” tutup Salamuddin. (Ars)

Related posts