Kamis, 25 April 24

Awas, Mega dan Jokowi Diadu

Awas, Mega dan Jokowi Diadu

Awas, Mega dan Jokowi Diadu

Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputeri bisa diadu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Caranya dengan mebenturkan keduanya soal jabatan Ketua Umum PDIP mendatang. Artinya, jika salah satu pihak curiga kepada pihak lainnya, pastilah benturan semacam itu akan terjadi, Mengingat di tubuh partai sendiri banyak kepentingan, yang masing-masing tentu ingin berkuasa. Peratanyaannya adalah mungkinkah Jokowi terpancing?

Sepengetahuan kita Jokowi bukanlah tipikal seseorang yang ingin mengusai partai. Selama dua periode jadi Walikota Solo, jabatan Ketua DPC PDIP tidak pernah mencoba direbutnya. Ketua DPC PDIP tetap utuh di tangan wakilnya. Demikian pula saat menjabat Gubernur Jakarta, jabatan Ketua PDIP tetap dipegang orang lain. Dan inilah barangkali kelebihan yang dimiliki Jokowi, dan jarang dipunyai para petinggi partai lainnya.

Umumnya dan kebanyakan pejabat, jabatan selalu di rangkap-rangkap, misalnya selain jadi gubernur, bupati/walikota, dia pun mau jadi Ketua Partai setempat. Bahkan sudah jadi presiden pun tetap ingin berkuasa di partai, apalagi hanya sekedar menteri. Dan hanya di jaman Jokowi era baru itu dimulai, yakni diawali dari dirinya sampai dengan para menterinya tidak boleh menjadi pengurus partai, terutama pengurus inti partai.

Rangkap jabatan itu dibutuhkan, karena mengurus partai pasti butuh dana yang banyak, dan pembiyaan partai akan diperoleh darimana jika mereka tidak menjabat. Inilah mengapa banyak ketua partai yang merangkap jadi pejabat. Pertanyaannya adalah bahwa dari segi pendanaan barangkali dapat terpenuhi, tetapi bagaimana dari segi keberhasilan? Jika keberhasilan itu tolok ukurnya  adalah dari banyak atau sedikitnya  jumlah suara yang didapat saat Pemilu  pasti kita petut pertanyakan. Mengapa?

Terbukti banyak ketua partai yang gagal saat memimpin bersamaan dengan dia menjadi penguasa pemerintahan. Contohnya Megawati Soekarnoputeri sendiri, PDIP suaranya merosot justeru ketika dia menjadi Presiden , tahun 2004. Padahal sebelumnya partai banteng moncong putih adalah partai pemenang Pemilu tahun 1999.Demikian pula Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Partai Demokrat (PD) suaranya melorot justeru saat dia menjadi Ketua Umum PD sekaligus Presiden RI.

Memang,bisa saja itu hanya terjadi secara kebetulan, tetapi bila kita telisik sampai ke daerah-daerah kasusnya nyaris sama. Mengapa? Rakyat atau konstituen sekarang sudah jauh lebih cerdas, mereka iauh lebih kritis, dan mereka rata-rata mampu membedakan mana yang harus dan tidak boleh dipilih. Jika ketua partai yang kebetulan pejabat dapat memimpin pemerintahan dengan baik, jujur, benar, berani dan konsisten. Pasti partai yang dipimpinnya akan dilirik orang. Sebaliknya jika dia memerintah dengan dasar adigang-adigung, atau aji mumpung dan sebagainya. Maka ucapkanlah selamat tinggal wahai para konstituen.

Kegagalan PDIP di Pemilu 2004 ini disebabkan oleh kondisi semacam itu.Lihat saja Presiden Mega yang saat itu diharapkan menjadi juru selamat wong cilik, kenyataannya malah banyak membuat kebijakan yang dipandang mengecewakan rakyat. Tidak terkecuali SBY, yang dianggap santun dan bijak, ternyata banyak anak buahnya yang korupsi. Di samping itu SBY juga dianggap  kurang  tegas dan  sikapnya tidak konsisten, akibatnya rakyat menghukum dia dengan tidak memilih PD. Dan suara PD pun merosot  di Pemilu 2014.

Dari sederet contoh di atas, maka sebaiknya Jokowi focus saja kepada pemerintahan. Biarlah urusan partai diurus orang partai. Dan untuk Mega, percayalah bahwa Jokowi nampaknya tidak menginginkan jabatan Ketua Umum.Jokowi lebih senang dan gayeng mengurus pemerintahan. Dan untuk mereka yang mencoba membeturkan keduanya, percayalah usaha kalian mudah-mudahan tidak berhasil. Cukup dua partai saja yang berkonflik, jangan menambahi lagi konflik yang tidak perlu. Dan yang terakhir, Ibu Mega awas ada yang berusaha mengadu. (Arief Turatno)

 

Related posts