Jumat, 19 April 24

Aturan Tak Konsisten, Rakyat Marah

Aturan Tak Konsisten, Rakyat Marah
* Tony Rosyid

Oleh: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Plin plan! Itulah kesan rakyat terhadap pemerintah terkait PSBB. Berawal bulan januari, pemerintah tak percaya covid-19 hijrah ke Indonesia. Coloteh sejumlah menteri bikin gemes. Salah prediksi membuat rapuh pertahanan.

Saat covid-19 masuk dan menginveksi, pemerintah gagap. Sama sekali gak siap. Bingung dan panik. Sementara nyawa terus berjatuhan. Satu persatu mati, hingga puluhan, ratusan, bahkan ribuan.

Setelah didesak untuk terapkan lockdown, bahasa yuridisnya karantina, akhirnya muncul PSBB. Meski telat dan sangat alot.

PSBB merupakan terobosan cerdas. Walaupun akan lebih efektif jika pemerintah pusat yang mengoperasikannya sendiri. Tak menyerahkan secara teknis kepada kebijakan pemerintah daerah. Ada kesan cuci tangan.

Lepas ada kekurangan sana sini, PSBB berhasil kendalikan penyebaran covid-19. Beberapa daerah, termasuk Jakarta, tingkat penyebaran turun. Di Jakarta, penurunan sampai pada level 0,9-1,2 persen. Ini bukti PSBB terukur dampaknya.

Tapi sayang, sejak Menhub membuka kembali “public transportation”, covid-19 ngamuk lagi. Angka penyebaran naik. Ratusan per hari untuk Jakarta. Secara nasional, hampir menembus angka 1000 per hari.

Tampak di pasar, mall dan bandara, kerumunan manusia padat lagi. Berjubel manusia saling menularkan virus. Dua minggu terakhir, jalanan di Jakarta pun padat kembali. Hampir tak ada lagi bedanya dengan waktu sebelum adanya covid-19.

Relaksasi PSBB yang diwacanakan Mahfud MD, Menkopolhukam ini, nampaknya berhasil. Rakyat merasa bebas dan merdeka kembali. Puncaknya, ketika pemerintah pusat membuat konser covid-19. Pakai hadiah Motor Gesit lagi. Hadiah atau lelang? Menurut M. Nuh, itu hadiah. Sayangnya, motor bertanda tangan presiden tak bisa dia miliki. Keburu ditangkap polisi. Prank!

Di sisi lain, jumatan, shalat berjama’ah dan shalat IDUL FITRI dilarang. Selama ini, umat Islam terima. Taat aturan. Walaupun tetap satu dua kasus ada yang gak disiplin. Masih dalam taraf wajar.

Secara umum, umat Islam patuh. Aturan pemerintah dimengerti dan dinilai baik. Ini demi kesehatan rakyat, dan untuk mengendalikan penyebaran covid-19. Semua ingin pandemi ini cepat berakhir.

Namun, ketika pasar, mall dan bandara berjubel, dan tak ada protab kesehatan, umat Islam marah. “Apa-apaan ini. Kami disuruh tutup masjid, sementara pasar, mall, jalan raya dan bandara bebas.”

“Ini bentuk penghianatan”, begitulah kira-kira menurut Prof. Dr. Din Syamsudin dan Aa Gym. Merepresentasikan betapa geramnya Umat Islam. Tidak hanya Umat Islam, tapi seluruh umat beragama merasa dikhianati. Kecewa, tentu saja. Dan kekecewaan itu sebagian diekspresikan dalam bentuk kemarahan.

Seorang kakek terlihat membongkar blokade jalan raya. Sejumlah polisi hanya diam menyaksikan ulah si kakek itu. “Hari Raya Idul Fitri Hari Kebebasan, Hari Kesenangan. Ora carane kaya ngene. Iki jenenge kelakuan iblis, kelakuan setan”, kata si kakek itu dalam video yang viral di medsos.

Kabarnya, ada kepala desa yang digebukin warga karena melarang shalat IDUL FITRI. Kasus Habib Umar Sagaf Bangil Jawa Timur sempat jadi heboh. Sang Habib ini ribut sama petugas ketika ditegur karena tak mengikuti protab dalam berkendara mobil. Hingga adu fisik dengan Satpol PP.

Di Jogja, hampir semua ulama sepakat untuk mengadakan shalat IDUL FITRI. Meskipun presiden melarangnya. Mereka tak peduli. Beberapa hari sebelumnya, sebagian masyarakat Riau juga protes terhadap PSBB.

Kenapa ini semua terjadi? Karena rakyat kecewa kepada pemerintah yang dianggap plin plan dan tak konsisten dengan aturan PSBB yang dibuatnya sendiri. Apalagi, munculnya Perppu No 1 Tahun 2020 telah lebih dulu membuat curiga rakyat. Perppu corona yang telah diketuk DPR jadi UU ini dianggap oleh banyak pihak berpeluang memanfaatkan pandemi untuk korupsi. Ngeri!

Sejumlah kasus kemarahan rakyat di sejumlah tempat boleh jadi hanya merupakan ekspresi kekecewaan mereka kepada pemerintah yang gak konsisten. Kemarahan ini kemudian dilampiaskan kepada obyek yang mereka temui. Kepala desa, aparat kepolisian, pengurus masjid, dan apa saja yang mereka anggap menghalangi. Dalam ilmu psikologi, ini namanya “jumping out” . Melampiaskan kemarahan kepada pihak yang tidak semestinya.

Dengan sejumlah kasus yang muncul di masyarakat, pemerintah mestinya mau introspeksi. Soal yang satu ini pemerintah sering abai. Egois dan gak peduli. Pejamkan mata dan tutup telinga.

Apapun sikap yang akan diambil pemerintah, semua akan ada konsekuensi politiknya. Jika situasi tak mujur, ini berpotensi jadi trigger dan bisa sangat berbahaya buat penguasa.

Jakarta, 25 Mei 2020

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.