Kamis, 18 April 24

Arief Budiman Tengah Sakit

Arief Budiman Tengah Sakit
Oleh: Denny JA, Pimpinan Lingkaran Survei Indonesia (LSI)

Tak ada penyakit yang lebih mengkhawatirkan bagi seorang pemikir kecuali penyakit yang justru ikut menyerang kapasitas berpikir. Itulah respons pertama saya ketika mendengar kini Arief Budiman tengah sakit yang serius.

Bagi aktivis mahasiswa masa kini, nama Arief Budiman mungkin sangat asing dan tak lagi terdengar. Namun bagi aktivis mahasiswa generasi 80-an, generasi saya, dan 90-an, sampai 2000-an, Arief Budiman acap kali menjadi rujukan. Ia intelektual yang kuat, aktivis politik yang penuh passion, juga peminat sastra dan budaya yang cemerlang.

Sejak lama saya mendengar Arief Budiman tengah sakit. Memorinya tak lagi sekuat dulu. Analisisnya dengan sendirinya jauh menurun akibat sakit yang punya efek terhadap kapasitas berpikirnya. Kesehatannya semakin menurun hingga hari ini.

-000-

Arief Budiman di tahun 80-an tinggal di Salatiga. Namun ia acap kali datang ke Jakarta. Setiap kedatangannya, seketika menjadi berita heboh di kalangan aktivis mahasiswa dan intelektual muda Jakarta.

Saya termasuk yang acap kali mencari waktu mendengar diskusinya, dan selalu mencari waktu berdiskusi pribadi.

Di era tahun 80-an, saya dikenal ikut mempelopori lahirnya dan menjamurnya Kelompok Studi Mahasiswa. Kegiatan utama kelompok studi itu adalah diskusi, menulis, dan berpolitik, terutama di tingkat gagasan. Ujungnya penerbitan buku.

Arief Budiman acap kali menjadi narasumber. Sungguhpun ia pribadi yang santun dan sangat menjaga perasaan rekan juniornya seperti saya, namun ia juga berterus terang mengkritik membangun.

Arief mengkritik polarisasi mahasiswa 80-an setelah menjamurnya kelompok studi. Ini akan salah arah, katanya, jika anda dengan kegiatan intelektual ini berjarak dengan aktivis mahasiswa yang konvensional yang menjadikan aksi jalanan sebagai aksi utama mereka.

Jika hanya kegiatan intelektual belaka, aksi mahasiswa akan tak berarti dibanding kegiatan para doktor dan profesor. Kelebihan aksi mahasiswa yang sulit ditandingi kelompok lain justru aksi jalanannya. Walau anda lebih menekuni dunia intelektual, anda jangan berjarak bahkan harus berdialektika dengan teman teman aksi jalanan.

Saya menerima kritiknya selalu senior. Sudah lama saya terkesan dengan jejak Arief Budiman yang panjang di banyak bidang. Untuk politik praktis, ia dikenal ikut mempelopori golput: sikap yang absen dalam pemilu sebagai protes favoritism pemerintah kepada satu partai dominan saat itu: Golkar.

Di bidang sastra, bersama Ariel Heryanto, ia mempopulerkan sastra kontekstual. Ini jenis sastra yang menolak “menggambarkan keindahan rembulan sementara ketidak adilan dan kemiskinan meluas di lingkungannya.” Sastra kontekstual ikut mempengaruhi saya yang akhirnya bersama teman teman merumuskan puisi esai.

Di bidang intelektual, Arief ikut mempopulerkan “paradigma kiri” yang lebih favourable pada sosialisme. Argumennya sangat bernas dalam mengkritik kapitalisme.

Kutipan yang dikenang soal ini ketika Arief Budiman menerima penghargaan Bakrie Award di tahun 2006. Penghargaan ini, ujar Arief Budiman, adalah penghinaan bagi dirinya selaku orang kiri, yang acap kali mengkritik paradigma modernisasi. Orang kiri menerima penghargaan dari orang kanan, ujarnya.

Soal kiri dan kanan, saya sendiri berbeda pandangan dengan Arief. Saya ikut mengkritik kapitalisme gaya lama yang sejak dulu dikritik Arief. Namun saya tak ikut merekomendasikan bangunan sosialisme kiri gaya Amerika Latin misalnya. Bagi saya welfare states, negara kesejahteraan model Denmark, Norwegia dan aneka negara Skandinavia kompromi “kanan” yang lebih bisa diterima.

-000-

Perjumpaan dengan Arief Budiman nyaris terhenti sejak tahun 90-an. Saya sekolah ke Amerika Serikat, negara yang acap kali dikritik Arief Budiman. Ia sendiri kemudian hijrah ke Australia mengajar di sana.

Sejak sepuluh tahun lalu, saya sudah mendengar keluhan teman teman akibat semakin mundurnya kemampuan Arief Budiman di dunia pemikiran. Ia juga semakin jarang menulis karya dan analisis akademik. Waktu itu tak ada yang mengaitkan kemunduran kualitas Arief dengan penyakit yang ia derita.

Hingga hari ini saya masih tak pasti apa gerangan penyakit yang diderita Arief Budiman. Tapi terus merebak isu ia menderita sejenis Alzheimer yang menyerang memori dan kemampuan berpikir. Penyakit itu dikonfirmasi oleh teman yang mengenalnya lebih dekat walau tidak dengan kepastian yang sangat.

Semoga Arief Budiman bisa pulih kembali. Walau ia sudah lama absen di ruang publik, namun jejaknya soal golput, sastra kontekstual dan gerakan kiri baru terus hidup mewarnai perkembangan selanjutnya di Indonesia. (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.