Kamis, 25 April 24

Api dalam Tubuh yang Lumpuh

Api dalam Tubuh yang Lumpuh

Buku memoar itu akan selalu dikenang. Bukan karena ia terjual jutaan kopi. Bukan pula karena ia kisah hidup seorang penulis sebelum dan setelah fisiknya lumpuh total.

Buku itu akan dikenang karena sang pengarang menuliskan buku itu berdasarkan kedipan mata saja. Mengedip satu kali berarti yes! Mengedip dua kali berarti no!

Penulisnya hanya bisa berkomunikasi dengan kedipan mata. Seorang care giver, perawat yang super sabar, membacakan huruf mana yang dimaksud.

Dari kedipan mata itu dipilih huruf. Huruf disusun menjadi kata. Kemudian kata menjadi kalimat. Akhirnya kumpulan kalimat menjadi buku dengan judul The Diving Bell and Butterfly.

Ini film true story berdasarkan kisah nyata penulis Jean Dauminique Bauby. Begitu unik kisahnya. Hingga di tahun 2007 film maker Julian Schnabel memindahkannya ke layar lebar.

Film berbahasa Perancis ini memenangkan banyak penghargaan, termasuk sutradara terbaik Festival Film Cannes 2007.

Lama saya merenung setelah selesai menonton film ini. Dalam tubuh yang lumpuh total, hanya bisa mengedipkan mata saja, api kreativitas bisa terus menyala, mencari jalannya sendiri, melawan keterbatasan.

-000-

Di tahun 1995, dalam usia 43 tahun, Bauby terkaget alang kepalang. Dokter menyatakan ia tak sadar selama 20 hari. Ketika sadar tak ada satupun yang bisa ia gerakkan. Dokter menjelaskan ia terkena stroke jenis locked-in syndrom. Hanya mata kirinya yang bisa berkedip. Yang lain kaku tak merespons.

Dalam waktu 20 minggu setelah stroke, ia turun 20 kilogram. Ia masih bisa mendengar dan memahami percakapan orang lain. Ia juga bisa menyatakan sesuatu tapi tak ada suara yang bisa keluar dari mulutnya.

Seorang ahli menemukan cara berkomunikasi. Dibacakan kepada Bauby abjad huruf tapi bukan susunan alphabetika seperti A, B, C, D, E dan sebagainya. Seorang ahli sudah menyusun urutan huruf baru berdasarkan frekuensi huruf yang paling sering digunakan bahasa perancis: E, S, R, A, I dan seterusnya.

Seorang care giver yang cantik jelita dan sabar sengaja dipilih untuk mengajarkan dan menumbuhkan spirit. “Aku akan sebut huruf. Jika memang itu yg kau pilih, kedipkan satu kali. Jika aku salah menebak, kedipkan dua kali.” Dalam empat atau lima kali kedipan, tersusun satu kata.

Kalimat pertama yang diucapkan Bauby, cukup mengagetkan. Ia ingin mati. Diulangi lagi oleh suster itu, tetap yang Bauby ekspresikan, Ia ingin mati.

Suster itu bersedih. Dengan penuh kasih, ia bertanya mengapa Bauby memilih mati. Bauby berbakat, masih bisa berkomunikasi.

Suster juga bercerita Majalah tempat Bauby bekerja. Ia sempat membacanya. Dengan sabar selalu ditemaninya dan dibangkitkannya semangat Bauby. Sehingga kata selanjutnya yang diekspresikan Bauby adalah terima kasih. Bauby berterima kasih atau telatennya suster itu mendampinginya.

Bauby juga berupaya membangkitkan semangat hidupnya sendiri. Ia acap kali membayangkan sedang bermain ski di salju maha luas. Atau bermesraan dengan kekasihnya. Tak jarang kadang ia juga menghayalkan hubungan percintaan dengan suster cantik dan baik hati itu.

Ia mulai menjalani kehidupan rutin. Anak anak yang masih kecil mengunjunginya. Juga ia dikunjungi istri yang ia sebut ibu anak anaknya. Saat itu Bauby memiliki kekasih lain, yang juga diketahui istrinya.

Anaknya yang paling dekat, si sulung berusia belasan, beberapa kali menangis melihat ia tak berdaya. Kadang air liur menetes dari mulut Bauby. Anaknya menyeka air liur itu sambil menitikkan air mata.

Ketika anak dan istrinya mengunjungi, beberapa kali Bauby bicara dalam hati. Ia belum sempat membahagiakan mereka. Kini apa daya? Ia lumpuh total.

-000-

Suatu hari yang tak terduga. Bangkit ilham dan api di hati Bauby. Ia ingin menulis buku. Ada kontrak membuat buku ketika ia masih sehat. Ia ingin menuntaskan buku itu walau kini ia lumpuh total.

Bauby mengutarakan niat hatinya melalui komunikasi kedipan mata kepada suster. Sang suster mengontak penerbit. Tentu saja awalnya penerbit menolak. Bagaimana Bauby bisa menulis buku? Ia lumpuh total.

Suster meyakinkan. Bauby tetap bisa menulis dengan bantuan seorang caregiver. Mereka bersama memilih asisten untuk membantu Bauby menulis.

Dibuatlah jadwal dan mekanisme. Bauby bangun setiap hari jam 5 subuh. Ia memikirkan dulu apa yang ingin ia tulis. Lalu setiap hari selama 4 jam, asisten menyebut huruf untuk disusun menjadi kata sesuai kedipan mata Bauby.

Agar tak bosan, kadang mereka bekerja di taman. Kadang mereka bekerja sambil plesiran di kapal.

Jika satu kata rata rata 4 huruf. Satu baris itu 10 kata dan satu halaman itu 15 baris. Maka satu halaman membutuhkan sekitar 4 x 10 x 15 sama dengan minimal 600 kedipan mata.

Jika tebal buku sekitar 300 halaman lebih, maka satu buku itu membutuhkan sekitar 200 ribu kedipan mata. Tak terhitung jika ada kedipan yang salah dan dikoreksi.

Dalam waktu 10 bulan, buku itu akhirnya selesai. Isinya sebuah memoar menceritakan suasana batinnya terkunci dalam badan yang lumpuh total. Kadang juga ia flash back menarasikan masa ketika sehat dan hal lain yang relevan.

-000-

Lahirnya buku dengan kedipan mata itu sebuah peristiwa unik dan besar. Publik Perancis terkesima.

Di hari pertama publikasi, buku itu langsung terjual 25 ribu kopi. Di minggu pertama terjual buku 150 ribu kopi. Siapa menduga buku tersebut kemudian menjadi best seller no 1 di seluruh Eropa. Terjual jutaan kopi.

Namun di tahun 1997, dua hari setelah bukunya dipublikasi, Bauby wafat. Ia tak sempat tahu jika bukunya dibaca luas di aneka negara.

Bukan hanya isi buku itu yang menginspirasi. Bauby menunjukkan apa yang disebut the mind over the body. Api yang menyala di pikiran akan mencari jalannya, mengatasi badan yang lumpuh total sekalipun. (Denny JA, pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.