Kamis, 25 April 24

APBN 2016 dan Swasembada Pangan

APBN 2016 dan Swasembada Pangan

 

Oleh: Aunur Rofiq *)

Pemerintah dan DPR telah mengesahkan APBN 2016 pada akhir Oktober lalu dengan postur yang lebih konservatif, karena perkembangan ekonomi yang belum menggembirakan, baik ekonomi global maupun ekonomi domestik.

Potensi risiko yang perlu diwaspadai adalah ketidakpastian global akibat kebijakan moneter negara maju serta perlambatan ekonomi yang terjadi di Tiongkok. Sementara sumber pertumbuhan ekonomi domestik akan didukung oleh kelanjutan pembangunan infrastruktur yang diharapkan akan mendorong kinerja Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB). Selain itu, tingkat konsumsi yang tetap kuat dan stabil juga akan menopang laju pertumbuhan ekonomi, didukung oleh terjaganya laju inflasi dan daya beli masyarakat.

Di tengah perlambatan ekonomi, pemerintah juga harus memperkuat struktur perekonomian berbasis kekuatan ekonomi domestik, terutama sektor pertanian. Pembangunan sektor pertanian tidak bisa diabaikan, karena sektor ini merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam pemenuhan kebutuhan pangan.

Semua negara maju dan berkembang bahkan negara yang pertumbuhan sektor industri dan jasa sudah kuat sekalipun, sektor pertanian  tetap memiliki peranan penting dan strategis dalam perekonomian.

Ketahanan pangan memang bisa di lakukan tanpa menghasilkan pertanian dari produksi dalam negeri, yakni dengan impor bahan pangan (uatamnya beras). Banyak negara dengan sumber daya terbatas, seperti Singapura atau Jepang, tidak mempersoalkan apakah ketersediaan pangan dicapai melalui produksi dalam negeri atau impor.

Indonesia adalah negara agraris dengan jumlah penduduk Indonesia sangat besar yakni mencapai 252 juta jiwa yang hampir semuanya pemakan nasi. Sebagian besar penduduknya menjadi petani dengan kesejahteraan yang rendah, maka mewujudkan ketahanan pangan melalui swasembada pangan adalah sebuah keharusan.

Jika perekonomian menggantungkan ketersediaan pangan melalui impor, bila terjadi gejolak harga dan ketersediaan pangan global, maka akan memunculkan masalah serius bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahkan bukan tidak mungkin kerawanan pangan/krisis pangan akan selalu muncul dan berubah menjadi krisis ekonomi, sosial dan politik.

Krisis ekonomi multidimensi yang pernah melanda perekonomian kita pada tahun 1998 lalu, menurut Penelitian Muhamad Ikhsan dan Cicilia Harun dalam Asia-Pacific Economies After the Global Financial Crisis : Lessons Learned and the Way Forward (2014), selain faktor eksternal berupa pelarian modal dan efek penularan (contagion effect) krisis nilai tukar negara negara Asia, juga ada faktor domestik yang mendorong percepatan ekonomi menuju krisis, yakni dampak buruk El Nino.

Kekeringan ekstrem karena El Nino pada tahun 1997 menjadi sebab utama rontoknya ekonomi Indonesia tahun 1998. Kekeringan karena El Nino telah menyebabkan produksi pangan anjlok sehingga harga pangan naik, inflasi tinggi dan jumlah rakyat miskin meningkat drastis sehingga krisis pun menyebar luas.

Pelemahan ekonomi saat ini, yang disertai pula dengan fenomena El Nino memiliki sedikit kemiripan dengan kondisi tahun 1998 lalu, meski dengan intensitas yang berbeda. Namun tetap penting pemerintahan Jokowi-JK memetik pelajaran krisis ekonomi tahun 1998 lalu dengan mengkalkulasi ketahanan fisal dan pangan tahun depan.

Menurut prediksi Kementerian Pertanian (Kementan) fenomena alam El Nino atau cuaca ekstrem panas akan menurunkan produksi padi sekitar sejuta ton gabah kering giling (GKG). Dampak fenomena alam tersebut terhadap sektor pertanian adalah akan ada 222.847 hektar lahan sawah irigasi yang kekeringan dari total sembilan juta hektare. Dari 222.847 hektare sawah irigasi tersebut potensi kehilangan produksi lima ton per hektare. Artinya, kita akan kehilangan panen lebih dari sejuta ton.

Meski ada penurunan produksi padi, namun produksi padi di prediksi masih tetap aman. Menurut perkiraan BPS, produksi padi tahun 2015 diperkirakan sebanyak 75,55 juta ton GKG atau mengalami kenaikan sebanyak 4,70 juta ton (6,64 persen). Ini adalah kenaikan produksi tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Produksi padi tahun 2014 sebanyak 70,85 juta ton gabah kering giling (GKG) atau turun sebanyak 0,43 juta ton (0,61 persen) dibanding tahun 2013.

Peningkatan produksi padi ini juga belum mampu mencapai target swasembada pangan pemerintah. Pemerintahan Jokowi-JK menargetkan swasembada pangan pada tahun 2017untuk 5 (lima) komoditas pangan strategis, yaitu beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Setidaknya agar swasembada dapat tercapai, pemerintahan Jokowi-JK harus mengejar tambahan produksi padi menjadi 80 juta ton per tahun, jagung 30 juta ton pertahun, kedelai 2,7 juta ton, gula 3,5 juta ton, daging 0,75 juta ton dan 1,7 juta ton garam.

Tampaknya mengejar target swasembada pangan masih jauh dari memadai. Meskipun pemerintahan sebelumnya juga berupaya mewujudkan target swasembada pangan pada tahun 2014. Namun kini sektor pangan masih juga belum mengalami kemajuan yang berarti.  Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Januari-Agustus 2015 pemerintah tercatat masih banyak impor pangan, yakni : Beras 225.029 ton dengan nilai US$ 97,8 juta; Jagung 2,3 juta ton dengan nilai US$ 522,9 juta; Kedelai 1,52 juta ton dengan nilai US$ 719,8 juta; Biji gandum dan meslin 4,5 juta ton dengan nilai US$ 1,3 miliar; Tepung terigu 61.178 ton dengan nilai US$ 22,3 juta; Gula Pasir 46.298 ton dengan nilai US$ 19,5 juta; Gula tebu (Raw Sugar) 1,98 juta ton dengan nilai US$ 789 juta; Garam 1,04 juta ton dengan nilai US$ 46,6 juta

Total nilai impor 8 komoditas pangan di atas ini mencapai US$ 3,5 miliar, atau sekitar Rp 51 triliun. Banyaknya impor pangan inilah yang pernah disebut Presiden Jokowi jadi salah satu rupiah melemah karena menyebabkan keguncangan neraca perdagangan.

Keterbatasan ruang fiskal menjadi salah satu penyebab sektor ini tidak terurus dengan baik. Anggaran untuk sektor pertanian hanya sebesar Rp 15,82 triliun atau hanya sekitar 4% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015. Ini terlalu kecil untuk pengembangan pertanian Indonesia yang kini sudah menghadapi tekanan impor yang tinggi. Dalam APBN 2016, Kementerian Pertanian masuk dalam daftar sepuluh kementerian penerima anggaran terbesar yaitu Rp. 31,5 triliun.

Dukungan fiskal terhadap sektor pertanian memang sudah meningkat tetapi masih belum memadai. Peningkatan itu belum serta merta meningkatkan produksi pertanian pangan dan kesejahteraan petani. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hingga akhir tahun 2014, pendapatan rumah tangga petani atau RTP sebesar Rp 12,41 juta per tahun, sehingga semakin banyak petani alih profesi terutama menjadi sopir angkutan umum. Jumlah RTP pada tahun 2003 tercatat sekitar 31 juta rumah tangga, turun menjadi sekitar 26 juta rumah tangga pada tahun 2014.

Bukan hanya dari sisi dukungan pendanaan yang masih kurang memadai. Pemerintah juga dapat meningkatkan keberpihakannya untuk mendongkrak pertumbuhan sektor pertanian melalui peningkatan produktivitas di tengah semakin memburuknya tingkat kesejahteraan petani pangan dan ancaman maraknya konversi lahan untuk industri yang lebih menguntungkan.

Penyediaan akses dan kebijakan di sektor pertanian harus dilakukan dimulai dengan mencegah terjadinya konversi lahan pertanian yang lebih besar. Saat ini, banyak lahan pertanian di berbagai tempat yang beralih fungsi menjadi lahan pemukiman, pabrik dan peruntukan lain non pertanian. Campur tangan pemerintah sangat diperlukan untuk menghentikan konversi lahan produktif pertanian pangan untuk usaha lain seperti industri, perumahan dan pertambangan. Tdk kalah pentingnya Pemerintah mendorong usaha tani pangan ini menjadi layak secara komersil, shg kesejahteraan petani akan meningkat.

*) Praktisi bisnis, dan Ketua PHP Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi)

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.