Rabu, 24 April 24

Anomali Persekusi

Anomali Persekusi

Oleh: Iswandi Syahputra, Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta

 

Mengapa karena mencari, menemukan dan berdamai dengan pelaku penghina agama Islam dan Ulama justru dituding sebagai persekusi?

Pada dasarnya, persekusi  (persecution) dapat dipahami sebagai penindasan, penganiayaan atau pendzoliman dari satu pihak pada pihak lain. Bentuk, dan sasaran maupun pelakunya (persecutor) bisa berbeda dan bermacam-macam. Bentuk persekusi dapat berupa menyakiti fisik atau menekan secara psikis baik melalui pemukulan dan sejenisnya, ancaman, hinaan atau ujaran yang merendahkan pihak yang ingin disasar. Dalam perspektif ini, ujaran kebencian atau ungkapan permusuhan sesungguhnya merupakan bagian paling lembut dari sisi persekusi. Karena bentuknya yang luas, sasaran persekusi juga dapat menjadi lebih lebar.

Persekusi dapat menyasar siapa saja, kapan saja, di mana saja dan oleh siapa saja. Dalam perspektif ini, persekusi bukan merupakan bentuk dari wujud relasi antara yang kuat menindas, menganiaya atau mendzolimi yang lemah. Atau bukan merupakan bentuk dari wujud relasi antara yang kaya menindas, menganiaya atau mendzolimi yang miskin, yang pintar menindas, menganiaya atau mendzolimi yang bodoh.

Persekusi di Media Sosial

Neu (2009) menjelaskan, sebagai persekusi, ujaran kebencian atau ungkapan permusuhan di media sosial digunakan untuk menunjukkan superioritas dan dominasi. Superioritas dan dominasi tersebut tidak berhubungan langsung dengan relasi mayoritas dan minoritas. Di media sosial, kelompok mayoritas tidak serta merta menjadi superior dan dominan terhadap minoritas. Di Indonesia, superioritas dan dominasi melalui ujaran kebencian atau ungkapan permusuhan di media sosial lebih ditentukan oleh kepemilikan relasi penguasaan akses pada pusat kekuasaan. Pandangan ini menjelaskan mengapa belakangan ini marak sekali persekusi verbal di media sosial terhadap agama Islam dan ulama. Bahkan, di antaranya dilakukan oleh Anak Baru Gede (ABG). Namun ada pula yang berasal dari kaum terdidik.

Dalam perspektif sejarah, persekusi terhadap agama dan agamawan (pendeta, pastor, ulama, biksu, dll) sudah terjadi sejak zaman Kekaisaran Romawi kuno. Penganiayaan terhadap orang-orang Kristen di Kekaisaran Romawi terjadi sebentar-sebentar selama lebih dari dua abad hingga tahun 313 M. Penindasan terhadap orang-orang Kristen pada era Kekaisaran Romawi dilakukan oleh negara secara sporadis. Namun seringkali juga negara mendorong masyarakat untuk melakukan persekusi agar negara memiliki legitimasi juga untuk melakukan persekusi. Keduanya saling melegitimasi dalam per-persekusi-an. Dimulai pada tahun 250 M, penganiayaan seluruh kerajaan terjadi dengan dekrit Kaisar Decius. Perintah tersebut berlaku selama delapan belas bulan, yang pada saat itu beberapa orang Kristen terbunuh sementara yang lain murtad untuk melarikan diri dari eksekusi. Penindasan ini sangat mempengaruhi perkembangan Kristen pada masa itu.

Pada perkembangan berikutnya, persekusi menjadi salah satu topik yang menarik bagi berbagai relasi sosial-politik internasional karena menyangkut ‘harkat dan martabat’ kemanusiaan. Persekusi menjadi konsep inti bagi siapa saja yang sedang mencari perlindungan, suaka atau pengungsi. Makna persekusi bagi pencari suaka menjadi lebih luas dan masuk dalam perbincangan internasional. Sehingga semakin sulit menemukan defenisi yang konsisten terhadap makna persekusi. Bagi Rampell (2011), tanpa pemahaman yang kuat dan terpadu soal persekusi pihak imigrasi dan pengadilan akan terus memberi artikulasi sepihak terhadap persekusi yang terjadi terhadap pengungsi dan pencari suaka. Padahal, pemahaman persekusi yang berbeda selalu menghasilkan ketidakadilan bagi korbannya. Ada persekusi dalam memaknai persekusi. Ini anomali persekusi level satu.

Di Indonesia, pemaknaan persekusi yang muncul saat ini bukan saja mengandung anomali level satu. Persekusi menjadi jungkir balik, dibolak balik melalui kuasa media sosial dan media massa konvensional. Persekutor (pelaku persekusi) menjadi korban persekusi, reaksi korban persekusi dikonstruksi menjadi persekutor (pelaku persekusi). Ini anomali persekusi level dua. Melalui media sosial dan media konvensional, persekusi digulirkan dan mengarah pada pelaku dari kelompok Islam tertentu. Persekusi tidak murni lagi sebagai gagasan kemanusiaan tapi justru dijadikan strategi untuk mengintimidasi.

Seperti pada era Kaisar Decius pada tahun 250 M yang mempersekusi umat Kristiani, umat Islam Indonesia juga merasakan hal serupa. Berawal dari Al-Qur’an kitab suci umat Islam dinista melalui persekusi verbal, pelakunya malah dipuja. Menyusul kemudian marak persekusi di media sosial terhadap agama Islam dan Ulama-nya. Para persekutor di media sosial tersebut dicari dan ditemukan umat Islam, masalah selesai dengan damai melalui materi 6.000, tapi justru umat Islam yang dituding persekutor (pelaku persekusi).

Poin Penting Persekusi.

Dari pemaparan tersebut memberikan tiga poin penting mendasar tentang seluk-beluk persekusi, khsususnya yang terjadi di Indonesia kontemporer saat ini, yaitu:

Pertama, secara mendasar persekusi merupakan segala bentuk penindasan, penganiayaan atau pendzoliman dari satu pihak pada pihak lain yang dilakukan secara sistematis dan memiliki relasi pada kekuasaan. Bentuk persekusi yang paling umum dan paling awal adalah penganiayaan terhadap agama atau agamawan (pendeta, pastor, ulama, biksu, dll). Namun dapat juga terjadi pada penganiayaan etnis atau penganiayaan politik.

Kedua, dampak yang dirasakan oleh korban persekusi dapat berupa penderitaan, perasaan dilecehkan, pengasingan, ketakutan, dan rasa sakit secara fisik. Pada bagian ini, batas dampak persekusi menjadi perdebatan apakah suatu penindasan, penganiayaan atau pendzoliman dapat disebut sebagai persekusi? Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua bentuk penindasan, penganiayaan atau pendzoliman dapat disebut sebagai persekusi.

Ketiga, dalam konteks Indonesia persekusi dimaknai terputus sebagai akibat, bukan karena sebab dari suatu peristiwa. Mencari dan menemukan orang yang menista agama atau ulama dimaknai persekusi sebagai akibat. Padahal aktivitas mencari dan menemukan orang yang menista agama atau ulama itu disebabkan oleh adanya pereskusi verbal terhadap agama dan ulama. Pemaknaan ini juga merupakan bentuk dari bekerjanya konstruksi wacana yang digerakkan melalui berbagai kekuasaan. (***)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.