
A.Rapiudin
Jakarta– Rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menggelar konvensi pendidikan sebagai usaha meningkatkan kualitas pendidikan nasional dinilai sebagai hal yang wajar dan boleh saja dilakukan. Tetapi, agenda besar tersebut jangan hanya sekadar basa-basi untuk mengalihkan isu kebobrokan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun ini.
Hal tersebut diungkapkan anggota Komisi X DPR Herlini Amran di Jakarta, Rabu (8/5).
“Apakah Kemdikbud akan mampu menjawab penyakit menahun birokrasi pendidikan, ya kita lihat saja nanti,” ujarnya.
Menurut Herlini, ada sejumlah program dan kebijakan Kemdikbud yang tidak sesuai dengan kenyataan. Program sertifikasi guru yang adakan Kemdikbud nyatanya kualitas guru secara nasional masih di bawah standar ideal. Kemudian, tunjangan sertifikasi untuk meningkatkan kesejahteraan guru, ternyata masih sering telat atau nunggak, masih seringnya pencairan beasiswa Bidikmisi, dana BOS yang diklaim penggunaannya sudah efektif, ternyata masih ada sekolah yang rusak atau ambruk. Lainnya, program beasiswa miskin,tetapi tetap saja angka putus sekolah di banyak daerah masih cukup tinggi.
“ Saya berharap rutinitas program seperti itu mestinya terjawab tuntas karena kasusnya selalu berulan,” katanya.
Herlini menambahkan, konvensi mungkin sesuatu yang menjanjikan bagi perbaikan kualitas pendidikan Indonesia. Tetapi, persoalannya apakah konvensi mampu menjawab realitas pendidikan di daerah pesisir, pedalaman, dan perbatasan yang masih minus itu atau tidak. Belum lagi bicara tentang cetak biru masa depan pendidikan untuk jangka waktu 20 atau 30 tahun mendatang.
“Konsepsi Kurikulum 2013 saja kagetan semuanya. Jika semua itu tidak terjawab oleh pihak Kemdikbud, nampaknya konvensi itu tidak lebih dari basa-basi semata,” tandasnya. (rud)