Permaisuri Yogyakarta ini merupakan sosok ratu abad 21. Dia pandai menunaikan sumbangsih untuk negeri di luar keraton.
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas bisa menjadi permaisuri yang memiliki banyak peran dan memegang posisi krusial. Selain berperan sebagai permaisuri, dia juga politisi dan aktivis kemanusiaan. Hal ini terjadi karena Hemas adalah seorang ratu yang hidup pada abad ke-21 yang ditandai dengan kehidupan masyarakat modern bersistem demokrasi. Sehingga peran dia sebagai ratu tidak hanya berkutat pada penjagaan tradisi di keraton Yogyakarta, tapi lebih dari itu.
Dibuktikan dia berhasil melaju ke Senayan menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari tahun 2004 sampai saat ini. Memperoleh lebih dari satu juta suara, menandakan bahwa Hemas sangat dicintai oleh rakyatnya. Dia mendapat posisi wakil ketua DPD untuk periode 2009-2014 dan 2014-2019.
Dalam hal pengawasan, dia selalu konsisten mengkritik politik anggaran pemerintah pusat yang dianggap belum berpihak pada kebutuhan daerah. Ini dapat dilihat dari porsi anggaran pusat dari total APBN Rp2100 T, belanja pusat sebesar Rp780,4 T dikelola oleh 34 Kementerian atau dikelola satu juta aparatur pusat. Sedangkan belanja ke daerah hanya Rp782,2 T tersebar dari Sabang hingga Merauke yang dikelola oleh tiga juta aparatur daerah.
Menurutnya, dalam politik anggaran harus mengacu sistem desentralisasi dan prinsip money follow function, bukan hanya kewenangan saja yang diberikan. Jadi, pemerintah cukup memfasilitasi dan mengontrol, sedangkan pelaksananya adalah pemerintah daerah sebagaimana yang tertera pada pasal 18 ayat (1) UUD 1945.
Di era kepemimpinannya, DPD juga berhasil mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2006. Adanya penghargaan tersebut menunjukkan komitmen dari seluruh lapisan DPD RI untuk melaksanakan dasar-dasar administrasi yang bersifat transparan dan memenuhi nilai akuntabilitas berjalan dengan baik.
Perempuan bernama kecil Tatiek Dradjad Supriastuti ini juga berjuang memperkuat kelembagaan DPD RI dengan mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Beserta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ke Mahkamah Konstitusi mengenai Pasal 22 D UUD 1945 tentang kesetaraan hak antara lembaga DPD dan DPR. Di luar itu, Hemas juga dikenal sebagai aktivis kemanusiaan dan pemerhati diskriminasi gender. Melalui Gerakan Pemberdayaan Suara Perempuan (GPSP), dia ingin memberikan pemahaman perempuan memiliki hak sosial sama dengan laki-laki. Dia pun tegas menolak undang-undang pornografi yang dianggap melemahkan perempuan.
Dalam perjalanan politiknya di Senayan, dia selalu menegaskan bahwa dirinya tidak mencari jabatan. Istri Sri Sultan Hamengkubuwono X ini ingin hukum ditegakkan sesuai dengan aturan, bukan di bawah tekanan kekuasaan. (Naskah: Subhan Husain Albari, Foto: Istimewa)
Artikel ini dalam versi cetak dimuat di Majalah Women’s Obsession edisi Agustus 2017.