
Menurut Sri, jumlah tersebut merupakan akumulasi dari beberapa realisasi, antara lain 5,76 persen (sekitar Rp 20 miliar) untuk Perpustakaan Nasional Pusat di Jakarta, kemudian dekonsentrasi yang dilaksanakan di Perpusnas Provinsi sebesar 1,66 persen (sekitar Rp 1,7 miliar), untuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) di Perpustakaan Proklamator Bung Karno di Blitar yang mencapai 35,87 persen (sekitar Rp 2,9 miliar), dan UPT Perpustakaan Proklamator Bung Hatta di Bukit Tinggi 19,84 persen (sekitar Rp 1,2 miliar).
Sri menambahkan, minimnya penyerapan itu disebabkan beberapa faktor, seperti pemblokiran anggaran untuk kegiatan perekrutan pegawai baru. “Masih adanya blokir pada anggaran senilai Rp 102 miliar yang terdiri dari anggaran untuk kegiatan pengadaan pegawai baru yang membutuhkan dana sekitar Rp 262 juta, tetapi masih diblokir dan harus menunggu persetujuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara,” ujarnya.
Di tempat yang sama, anggota Komisi X DPR Ferdiansyah mengatakan, dirinya mengapresiasi pihak Perpustakaan Nasional yang menjalankan proses penyerapan sesuai prosedur, sehubungan belum keluarnya rekomendasi dari beberapa kementerian terhadap prinsip tahun jamak (multi years contract).
“Saya sangat setuju dengan belum terbitnya prinsip tahun jamak yang terkait dengan Kementerian Keuangan. Ini yang sebenarnya harus dilakukan dan kurikulum pun harusnya melalui prosedur seperti ini. Jadi, kita berusaha jangan sampai ada kejadian Hambalang jilid kedua. Makanya kita harus mengundang Menteri yang terkait dengan prinsip tahun jamak,” jelasnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194 Tahun 2011 perihal kontrak tahun jamak, anggaran yang jumlahnya lebih dari Rp 100 miliar harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 2.
Karena itu, lanjut politisi Partai Golkar ini, Kepala Perpustakaan Nasional untuk tidak pesimis anggaran yang diajukan tidak dicairkan. Yang penting prosedurnya benar.