
Jakarta, Obsessionnews – Perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) versus DPRD DKI Jakarta terkait perbedaan anggaran, dimulai ketika Ahok membeberkan kepada publik mengenai ada dana siluman pada Uninterrupible Power Supply (UPS) sekolah di Jakarta. Lantas, pihak DPRD pun menggulirkan hak angket untuk “melengserkan” Ahok. Namun, Ahok nekat melaporkan ke KPK soal dugaan sindikat korupsi di DPRD DKI itu.
Pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Boni Hargens menilai, anggaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang ‘dipatok’ pihak DPRD DKI terjadi inisiasi yang dominan hingga mengakibatkan lupa terhadap porsi mereka. Hal ini juga sebagaimana dasar eksekutif mengganggap dana Rp12,1 triliun merupakan anggaran yang tidak masuk akal (reasonable) sehingga perlu dicoret.
“Menurut saya ini bukan perkara angka saja, bukan perkara komunikasi. Seolah-olah ini masalahnya pada Ahok. Komunikasi itu tidak ada masalah di situ. Yang jadi masalah adalah pihak mana dan kepentingan apa yang terganggu. Kebetulan ini terganggu semua pihak kepentinggannya,” ungkap Boni dalam dialog di MetroTV, Selasa pagi (1/3/2015), bersama Wakil Ketau DPRD DKI Jakarta M Taufik dan Aktivis ICW Firdaus Ilyas.
Sebelumnya, M Taufik mengatakan pangkal kekisruhan pengguliran hak angket adalah karena komunikasi Ahok kurang baik dengan DPRD. Selain itu, ia menganggap Ahok melakukan pelanggaran hukum dengan menyerahkan draft APBD kepada Mendagri tanpa ada konsultasi dengan DPRD.
“Karena kami mengganggap di situ sudah ada pelanggaran hukum. Belum disahkan oleh Mendagri, Ahok telah merubah usulan anggaran yang disepakati DPRD sehingga ini reaksi atas angket. Jadi, proses pengesahanya yang dipermasalahkan di sini,” kilah Wakil Ketua DPRD DKI itu.
Namun, Boni Hargen tidak sepakat dengan anggapanm tersebut. “Ini bukan masalah pak Ahok dan DPRD, tetapi persoalan peradaban demokrasi. Pertanyaanya adalah orang yang korupsi itu apakah untuk kepentingan dirinya atau kelompok dan seterusnya, dalam konteks ini kalau memang budget Rp12,1 trliun memang pontesi korupsi, ya tentu saja bukan memperkaya Pak Taufik atau yang lain di DPRD, tapi ada sistem di situ yang ingin diperkaya diuntungkan,” tegas Boni.
“Begitulah sistem mau bertahan hidup, makanya saya bilang yang pastinya ini bukan bersifat individual tapi kolektif. Kalau terkait komunikasi kenapa tidak ngobrol dulu, kalau secara unit, fungsi dan kebutuhannya sama saya kira tidak ada masalah,” sahut Aktivis ICW Firdaus Ilyas.
Lebih lanjut Boni mengaku heran jika DPRD DKI tiba-tiba menggulirkan hak angket kepada Gubernur Ahok, tidak didahului dengan hak interpelasi. Ia pun mendukung Ahok melaporkan dugaan adanya korupsi terkait perbedaan anggaran oleh pihak DPRD DKI tersebut.
“Saya katakan begini, kalau kita bicara budget barang dan jasa sebagaimana kita masih lakukan penelusuran lebih lanjut dengan KPK, kita harus melihat relasi kepentinggannya, kira-kira siapakah yang akan diganggu kalau proyek-proyek abal-abal yang akan menikmati insetifnya,” tegas Boni.
“Bisa dikatakan pihak birokrat, legislatif atau pihak ketiga, nah kalau sember ekonominya terganggu orang dengan alasan apapun jika norma dan etika bisa dikalahkan dengan seolah-olah terkait prosedural korupsi by low, kita buat aturanya kita buat edarannya kemudian diterapkan, sehingga tidak salah dan seolah-olah legal,” duganya.
DPRD Off-Side
Ada penelitian yang serius dan menjadi teori yang menarik bahwa korupsi politik di Asia Tenggara termasuk di Asia Pasifik duluan melibatkan beberapa steak holder secara bersamaan ada orang partai, ada eksekutifnya, ada legislatifnya, ada birokratnya lalu ada klain yang non politik apakah dia kelompok yayasan, atau persusahaan.
“Kalau misalnya ada rapat komisi disitu dan mau sepakat teori tadi mengatakan bahwa kelompok ini bisa menjadi pelaku secara bersamaan lho, dalam korupsi sistemik. Maka menurut saya dimana ini masih dugaan begitulah teori mengatakan dan kita khawatir jagan sampai Rp12,1 triliun ini korupsi sehingga angket ini suatu lompatan yang berlebihan. Upaya DPRD ini menurut saya upsaid mungkin interplasi dulu cukup, kalau memang ini yang dipersoalakan komunikasi politik ketiga lembaga ini,” saran Boni Hargen.
Boni juga mencurigai di kalangan DPRD DKI Jakarta ada geng-geng politik yang dibangun. “Proses geng-gengan yang di dalam pemerintahan ini yang menjadi masalah yang serius. Apakah geng-gengan ini juga ada dalam konsep pemeritahan Jakarta saya tidak menuduh tapi saya mencurigai itu ada,” duganya.
Sementara itu, Taufik mengakui sebelumya sudah terbangun komunikasi yang baik dengan Ahok. “Fungsi mengotrol budget 2014 kan sudah di tahu Ahok, dari penetapan sampai perubahan,” ugkapnya sembari menambahkan, proses pembahasan APBD diawali dengan komunikasi dengan baik. “Sampai kita ikuti maunya eksekutif, perubahan-perubahan yang diinginkan kita ikuti, dan diskusinya panjang, yang jadi problem itu yang disampaikan itu tidak sesuai yang diajukan. Kok kita di suruh kerja sesuai proses yang ada, kan proses itu aturan, kok tiba-tiba ini diajukan beda,” ceritanya.
“Saya sudah katakan tadi bahwa komunikasi awalnya sudah baik kita ikuti kehendak eksekutif, sampai-sampai ini juga pelanggaran sehingga biaya tidak langsung itu tidak dibahas, padahal biaya tidak langsung itu 10% tidak dibahas, itu menyangkut pegawai dan segala macam. Minta waktu cepat tiba-tiba diujung itu saya kira bahwa komunikasi jadi mandeg padahal kok komunikasi baik,” uajr Wakil Ketua DPRD DKI ini.
Menurut Boni, kesalahan blunder yang dilakukan DPRD satu komunikasi politiknya kemudian manufernya. “Komunikasi DPRD ini kan kelihatan menyerang dengan argumentasi yang juga tidak kuat misalnya aspek gaya bahasa Ahok. Kemudian yang kedua soal manuvernya kelihatan sekali ada penyeranga total terhadap Ahok sehingga memancing reaksi publik yang tentu saja akan menyudutkan DPRD sendiri, makanya ini sudah off-side, kalau dilanjutkan pertandingan maka DPRD melanjutkan pertandingan yang kalah,” paparnya.
Yang jelasnya, sambung Liyas, kembali pada peran dan fungsinya masing-masing, yang mencul ini adalah perbedaan presepsi yang muncul di publik. Yakni, “kenapa mengajukan kalau titelnya berbeda dengan disepakati pertanyaan saya di situ,” tegas Aktivis ICW.
DPRD Harus Jujur dan Terbuka
Boni menegaskan, sebetulnya DPRD DKI merupakan DPRD yang terkuat di seluruh daerah di Indonesia, ini yang paling kuat dan sebelumnya tidak pernah dipersoalkan. DPRD paling mengatur di dalam segala hal mulai dari anggaran sampai yang lain-lain. “Ini prakteknya sudah biasa di Jakarta, dan tiba-tiba datang koboy dari belitung dikonstruksi selama ini, oh tentu saja musuhnya jadi banyak,” ungkap Boni.
“Pertanyaanya kalau negara dirugikan, salah, maka menurut saya ini bukan lagi berapa duit yang dipotong Ahok apakah proposal diterima atau tidak tapi persoalan harga diri sistem terganggu dan ada keuntungan-keuntungan yang tergerus,” duganya.
Boni menyaraknkan agar pemerintah Daerah Jakarta harus jujur, jika ingin mempertahankan sistemnya baik. “Maka menurut saya kita harus jujur saja dan harus bijaksana, dan tidak perlu mencari argumentasi yang justru mengada-ngada. Jadi kita semua harus jujur dan terbuka legislatif harus dikritik eksekutif harus dikritik maka kemudian yang penting menurut saya bertanya dan berkomunikasi sehingga bukan angket tapi intrepelasi,” tegasnya.
Firdaus Ilyas mengatakan, kalau permasalahannya adalah masalah fungsi masih bisa dikomunikasikan lagi, serta persoalan anggaran kegiatanya ditanya lagi siapa yang memiliki kewenangan itu. Selain itu pula perlu dikomunikasikan kembali adanya pendanaan alat dan kegiatan yang tidak relevan dengan biaya yang gila-gilaan.
“Sepantasnya harus ada komitmen legislatif dan eksekutif ini mengantarkan anggaran ini sampai tidak ada korupsi dilakukan,” harap Aktivis ICW.
Pegiatan anti korupsi ini juga memberikan apresiasi kepada Gubernur Jakarta dengan langka-langka dan keberanian yang ditunjukan sekarang. “Dan pak Ahok melaporkan itu pada aparat hukum itu merupakan langka maju belum ada seorang Gubernur atau Bupati melakukan hal itu”.
Diakhir dialog, Boni menjelaskan mengenai pemakzulan hak angket. “Hak angket itu adalah investigasi maka otomatis akan mengarah pada pemakzulan karena hak angket itu sudah melakukan pelanggaran tapi selesai diinterplasi. Kalau pelanggaran disebut bukti-bukti materialnya nah itu investigasi yang diperlukan. Kalau bukti-bukti ditemukan maka dia dimakzlukan, kalau DPRD bilang ini itu berarti ada perbedaan presepsi pada hak angket. Makanya regulasi itu di baca,” tuturnya. (Asma)