Rabu, 24 April 24

Ancaman Menkumham Bagi Napi Program Covid-19 yang Kembali Berulah

Ancaman Menkumham Bagi Napi Program Covid-19 yang Kembali Berulah
* Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. (Foto: Merdeka.com)

Jakarta, Obsessionnews.com — Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengancam akan menjebloskan narapidana yang kembali melakukan tindak kriminal setelah dibebaskan melalui program asimilasi dan integrasi di tengah pandemik Covid-19 ke lembaga pemasyarakatan. Ancaman itu disampaikan menyusul adanya laporan banyak narapidana melakukan tindakan kriminal yang membuat masyarakat menjadi khawatir.

“Saya harapkan seluruh kakanwil dan kadivpas berkoordinasi dengan para kapolda di seluruh daerahnya agar warga binaan pemasyarakatan yang mengulangi tindak pidana setelah mendapatkan asimilasi dan integrasi untuk segera dikembalikan ke lembaga pemasyarakatan usai menjalani BAP di kepolisian, agar yang bersangkutan langsung menjalani pidananya,” ujar Yasonna dalam keterangan tertulis, Selasa (21/4/2020).

Kendati angka pengulangan tindak pidana tersebut dinilai rendah, Yasonna tetap meminta berbagai evaluasi dilakukan untuk memulihkan rasa aman di dalam masyarakat. Yasonna meminta jajarannya untuk mengevaluasi serta meningkatkan pengawasan terhadap warga binaan yang dibebaskan melalui asimilasi dan integrasi.

“Karenanya, bila ada berita di media terkait pengulangan tindak pidana, saya minta setiap kanwil bertindak aktif memastikan kebenarannya di kepolisian. Hal ini harus dilakukan agar masyarakat tidak jadi ketakutan akibat berita miring yang tidak benar,” tuturnya.

Menurut dia, upaya ini penting dilakukan guna menekan jumlah warga binaan yang kembali melakukan tindak pidana setelah mendapatkan program tersebut.

“Narapidana asimilasi yang melakukan pengulangan tindak pidana didominasi kasus pencurian, termasuk curanmor. Ke depan, semua warga binaan kasus pencurian yang akan mendapat program asimilasi harus dipantau lagi rekam jejaknya. Apabila ada yang tidak benar, jangan diberikan asimilasi karena dapat merusak muruah dari program ini,” ujarnya menegaskan.

Dipengaruhi Berita Hoax

Ia menyebut angka kejahatan yang dilakukan narapidana program asimilasi Covid-19 masih rendah. Namun, dalam pemberitaan begitu ramai karena dipengaruhi oleh berita bohong alias hoax. “Tapi, kita tidak boleh beralasan demikian. Terlebih, saat ini publik disuguhi informasi yang mengerikan, termasuk yang sebenarnya merupakan hoaks, terkait warga binaan asimilasi di sejumlah daerah,” ungkapnya.

Di tempat terpisah, Plt Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kemenkumham, Nugroho mengatakan dari data Kemenkumham, jumlah narapidana yang kembali melakukan kejahatan hanya sekitar 30 orang, dari total 38 ribu lebih narapidana dari seluruh Indonesia yang dibebaskan karena pandemi Covid-19.

“Residivis tidak terlalu tinggi di Indonesia estimasi total. Dalam satu minggu saja ada 4 berita hoax, jadi  seolah-olah yang melakukan kejahatan itu adalah mantan napi, padahal tidak. Kalau toh ada mantan napi itu napi yang kapan? Kalau dikaitkan dengan Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020, tentu tidak,” tegas Nugroho.

Nugroho mengatakan munculnya asumsi negatif bahwa seolah-olah meningkat aksi kejahatan setelah 38 ribu lebih narapidana program asimilasi Covid-19 dibebaskan, lebih banyak dipengaruhi oleh berita hoax. Namun, Nugroho sendiri enggan menyebut pihak mana yang menyebarkan berita hoax tersebut, dan apa kepentingannya dalam hal ini.

“Saya kira asumsi itu tidak benar. Kecuali yang bebas banyak dan melakukan banyak. Itu dipengaruhi oleh berita bohong kok dan oleh kekhawatiran yang mengada-ada itu. Menurut saya seperti itu. Jadi asumsi itu tidak berdasar sama sekali,” papar Nugroho.

Pandangan Sosiolog

Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono menjelaskan, setidaknya ada 4 kemungkinan mengapa narapidana kembali berulah. Menurut Drajat, kemungkinan pertama adalah hukuman yang diberikan tidak membuat para napi jera.

“Hukuman pada dasarnya dipakai untuk membuat pelaku atau pelanggar hukum mengalami pengucilan. Represif bukan restitutif,” ujar Drajat.

Lanjutnya, represif artinya ditekan, dikucilkan, dan dijauhkan dari keluarga, teman-temannya, serta dunia luar supaya dia jera. “Nah rupanya hukuman seperti itu pada beberapa orang napi tidak membuatnya jera. Kenapa? Karena bisa jadi hukuman itu ternyata tidak menyulitkan dia,” katanya.

Drajat menjelaskan, ketika napi berada di dalam penjara ada yang bisa bergaul dengan baik, mendapat makan secara rutin, dan hal-hal lain yang justru memudahkan hidupnya. Sehingga napi betah di penjara dan tidak merasa jera.

Kemungkinan kedua menurut Drajat adalah karena tidak adanya persiapan untuk bertahan hidup di dunia luar. Biasanya sebelum para napi dibebaskan, ada proses moderasi untuk menyiapkan dia beradaptasi dengan dunia atau pemasyarakatan. Yang dimaksud pemasyarakatan adalah dia kembali ke masyarakat, sehingga harus mengikuti norma-norma yang ada di masyarakat. Proses tersebut dimediasi oleh penjara.

“Penjara sebenarnya punya fungsi untuk melatih orang, tidak sekadar mengucilkan, tidak sekadar represif tapi juga melatih untuk dia ketika keluar dia siap,” ujarnya.

Ada persiapan dari segi hukum, budaya, ekonomi (termasuk bagaimana mencari pekerjaan), mental, dan spiritual. Ketika para napi keluar dengan persiapan yang belum tuntas, akibatnya di luar mereka tidak mengalami kepatuhan. Para napi dikeluarkan karena aspek kemanusiaan, supaya para napi tidak tertular Covid-19. Sehingga menurutnya kemungkinan mediasinya di penjara belum selesai atau tidak ada mediasi seperti itu.

Selain hal di atas, sebab selanjutnya yakni para napi tidak memiliki pekerjaan karena mereka ditahan sekian lama di penjara. Ada yang tidak punya tabungan, ada juga yang tabungannya sudah habis. Kecuali bagi mereka yang sangat kaya. Menurut Drajat, para napi tidak akan diterima dengan mudah di masyarakat saat keluar dari penjara.

“Nah di sinilah ada proses stigmatisasi yang kemudian membuat mereka kemudian terpepet melakukan kejahatan-kejahatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan mendapatkan pengakuan,” kata Drajat.

Selain faktor-faktor di atas, bisa jadi seorang napi tidak jera karena memang sudah trait atau sifat atau bawaan yang dimiliki secara sosial dan individu. Secara individu maksudnya sifat-sifat itu telah melekat pada dirinya. Sementara itu secara sosial artinya dia terpengaruh teman-teman dekatnya untuk melakukan perbuatan kriminal. Sehingga napi mencari peluang-peluang, mumpung bebas.

Drajat mengungkapkan, dalam beberapa beberapa kasus, penjara tidak menakutkan tapi malah menjadi sekolah kriminal yang sangat canggih. Hal itu jumlahnya cukup banyak di berbagai negara. Penjara juga menjadi tempat untuk meningkatkan modal sosial kriminal. Artinya, di penjara itu napi justru kenal dengan “orang-orang hebat” atau penjahat-penjahat yang sangat kuat.

Saat jam istirahat atau jam kunjung terjadi campur baur, sehingga ada proses “pembelajaran” kriminalitas di sana. Sehingga dari jaringan baru tersebut napi belajar dan ketika keluar mereka jadi lebih profesional. “Nah ini harus bisa diputus di penjara,” tegasnya.

Kemenkumham telah mengeluarkan dan membebaskan 38 ribu lebih narapidana dan anak di seluruh Indonesia melalui program asimilasi dan integrasi berkenaan dengan virus Covid-19. Hal tersebut berlandaskan pada Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020.

Diketahui, program asimilasi dan integrasi akan terus dilakukan sampai berhentinya status kedaruratan terhadap penanggulangan Covid-19 yang ditetapkan pemerintah berakhir. Dalam Pasal 23 disebutkan, narapidana menerima asimilasi atau integrasi telah menjalankan 2/3  masa pidananya. Sementara anak telah menjalankan ½ masa pidananya sampai dengan tanggal 31 Desember 2020. (Has)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.