Jumat, 19 April 24

Alasan Kenaikan BBM Lecehkan Putusan MK

Alasan Kenaikan BBM Lecehkan Putusan MK
* Rakyat miskin. (ist)

Jakarta, Obsessionnews – Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 39/2014 Tentang Perhitungan Harga Jual Eceran BBM, yang telah diubah dengan Permen ESDM Nomor 4 Tahun 2015, dengan alasan meningkatnya rata-rata harga minyak dunia dan masih berfluktuasi serta melemahnya nilai tukar rupiah dalam sebulan terakhir, maka Harga Jual Eceran BBM secara umum perlu dinaikkan dan demi menjaga kestabilan perekonomian nasional serta untuk menjamin penyediaan BBM Nasional.

“Alasan kebijakan dari Pemerintah tentang kenaikan harga BBM tersebut justru mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK),” tegas Ketua Umum Forum Solidaritas Masyarakat Peduli Migas (Fortas-MPM) Teddy Syamsuri kepada Obsessionnews, Sabtu (28/3),

Hal ini menanggapi kebijakan Pemerintah Jokowi yang secara mendadak tiba-tiba menaikkan harga BBM pada Sabtu 28 Maret 2015 pukul 00.00 WIB. Harga BBM jenis premium naik menjadi Rp7.300/liter untuk luar Jawa-Madura-Bali, dan untuk di Jawa-Madura-Bali adalah Rp7.400 per liter. Sementara harga BBM jenis Solar di seluruh Indonesia dibuat sama yaitu Rp6.900 per liter.

Teddy Syamsuri membeberkan, jika mengacu butir ke-7 visi Nawacita Presiden Jokowi yang ingin mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, tentunya bukan dengan mengadopsi bangunan ekonomi liberal tetapi dengan ekonomi konstitusi. “Bangunlah ekonomi konstitusi, bukan bangunan ekonomi liberalisasi,” ungkap Jurubicara Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM) ini.

Ia mengingatkan kepada Pemerintah perihal putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003 tertanggal 15 Desember 2004, yang menyatakan Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU Migas No. 22 Tahun 2001 yang berbunyi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan harga Gas Bumi (LPG) diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar, serta pelaksanaan kebijaksanaan harga tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu, diputuskan bertentangan dengan UUD 1945.

Selain itu, Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) sudah menilai ekonomi Indonesia memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang. Salah satu andalan Indonesia adalah sumber daya alam, pasar yang besar dan sumber daya manusia, tapi daya saing internasional rendah, infrastruktur buruk, perizinan tidak baik. “Hanya saja dengan adanya kebijakan Pemerintah kembali menaikkan harga BBM jenis premium dan solar Rp 500/liter pada 28 Maret 2015, potensi untuk tumbuh dan berkembang menjadi sulit dicapai,” tegas Teddy.

Bangunlah Ekonomi Konstitusi, Bukan Ekonomi Liberalisasi
Teddy Syamsuri memaparkan, kendala yang dihadapi oleh masyarakat dengan pendapatan golongan menengah ke bawah adalah kemampuan daya beli tunai yang masih rendah. Oleh karena itu, sebagaimana amanat konstitusi, Pemerintah memiliki peran untuk tetap melindungi kesejahteraan dan tingkat hidup yang layak bagi setiap warga negara.

Menurutnya, agar hak bagi setiap warga negara dapat terpenuhi, perlu suatu kebijakan Pemerintah untuk melindungi warga negara berpenghasilan rendah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sekalipun data Badan Pusat Statistik (BPS), 5 Februari 2015, pendapatan per kapita 2014 mengalami kenaikan sekitar Rp3,53 juta atau sebesar Rp38,28 juta per tahun. “Namun dampak kenaikan harga BBM tetap saja akan menurunkan daya beli masyarakat, dan penurunan daya beli itu membuat rakyat hampir miskin menjadi miskin,” tandasnya.

Sebenarnya, lanjut dia, konsumsi domestik, investasi, dan ekspor adalah masa depan ekonomi Indonesia. Peningkatan daya beli masyarakat oleh besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga menjadi penting. “Oleh sebab itu, Pemerintah harus hati-hati ketika menaikkan BBM, karena dampaknya bersifat langsung terhadap beban masyarakat sehingga berpengaruh terhadap turunnya daya beli,” tuturnya.

Ia menambahkan, paket-paket kebijakan ekonomi yang dirancang oleh Pemerintah sebaiknya harus dapat berimplikasi langsung kepada penguatan struktur ekonomi nasional, yaitu yang berdampak langsung terhadap peningkatan produksi, ekspor dan konsumsi. “Upaya ini diperlukan untuk menjaga agar dampak ikutannya diharapkan tidak menyebabkan daya beli masyarakat turun karena mereka harus tetap dapat bekerja dan tingkat pendapatannya tidak tergerus,” jelasnya.

Teddy menegaskan, kebijakan yang bersifat komprehensif menjadi penting dan jauh lebih bermanfaat bila dibandingkan dengan mengeluarkan kebijakan yang bersifat parsial. “Secara faktual, potensi meningkatnya angka kemiskinan akibat kenaikan harga BBM akan berdampak buruk sekaligus terhadap ketiga dimensi yang mendasari pembangunan manusia, yakni melemahnya daya beli, pendidikan, dan kesehatan, sehingga menurunkan kemampuan riil untuk membiayai pendidikan dan kesehatan,” terangnya. (Ars)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.