Rabu, 29 Maret 23

Akibat Dipecah, Desa Bingung dan Takut Gunakan Dana

Akibat Dipecah, Desa Bingung dan Takut Gunakan Dana

Jakarta, Obsessionnews.com – Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Akhmad Muqowam mengungkapan, ada perubahan jumlah desa sebelum disahkan UU Desa, dan setelah disahkannya UU tersebut jumlahnya meningkat.

“Perubahan itu begitu dinamis ketika UU Desa disahkan,” bebernya saat menerima rombongan delegasi dari Forum Wali Nagari Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Hadir Wakil Ketua DPD Nono sampono, Anggota DPD RI Provinsi Sumatera Barat Nofi Candra dan Anggota DPD Provinsi Papua Barat Mervin Sadipun Komber.

Akhwad Muqowam mengritik kebijakan pemerintah untuk memecah penanggung jawab dana desa ke dua kementerian. Pemisahan kewenangan justru membuat pemerintah desa menjadi bingung dan takut menggunakan dana tersebut.

“Kalau ini tidak segera diharmonisasi maka akan membuat aparat desa bingung dan takut,” tandas senator asal Jawa Tengah itu.

Kebijakan ini, jelasnya, tertuang dalam Peraturan Presiden yang dikeluarkan era pemerintahan Jokowi-JK. Kewenangan dana desa pun di bagi ke dua kementerian, Kementeria Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes-PDT) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Jika tidak diharmonisasi atau kebijakan bersama antara kementerian, tutur Muqowam, setiap kementerian justru mengeluarkan kebijakan yang tidak sejalan. Sebab tiap kementerian mengeluarkan keputusan yang berbeda-beda.

“Aparat desa jadi seperti ditakut-takuti karena perbedaan Kepmen dari masig-masing kementerian itu,” tegas Muqowam.

Anggota DPD RI Provinsi Sumatera Barat Nofi Candra mengatakan DPD ada karena adanya aspirasi daerah, begitu juga dengan wali nagari. Memang kunjungan ini terkait UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. “Makanya saya mengajak Ketua Komite I dalam delegasi ini. Karena pak Muqowam sangat tahu dengan permasalahan UU Desa,” paparnya.

Ia menjelaskan, Sumbar telah dirugikan dengan adanya dana desa. Karena pemerintah pusat menyamakan satu nagari itu sama dengan satu desa (nagari). Padahal satu nagari itu terdiri dari beberapa desa. “Coba bayangkan satu nagari hanya diberikan Rp1 miliar. Sama dengan satu desa,” tutur Nofi.

Ketua Forum Wali Nagari Kabupaten Solok Syamsul Azwar mengeluhkan dana desa yang disalurkan oleh pemerintah pusat sangat rentan dalam proses hukum. Lantaran, banyak desa yang takut akan berurusan dengan penegak hukum. “Memang dana desa membuka lebar bagi kepolisian. Maka usulan kami pihak penegak hukum harus berkoordinasi dengan inspektorat. Ini lah yang kami lakukan ditingkat bawah,” tutur dia.

Wakil Ketua DPD Nono Sampono mengatakan bahwa kejadian seperti ini bukan hanya di Sumbar saja, tetapi di Maluku juga demikian. Di Maluku juga mirip kawasan adat dan dibawahnya dusun-dusun. “Oleh konstitusi kita diwadahi dsitu dan itu wajib. Kita tahu negara ini dibentuk karena kesepakatan dari suku-suku di daerah,” terangnya.

Dirinya menilai memang ujung tombak Indonesia berada di desa. Maka tepat jika UU Desa ini muncul, namun bukan berarti permasalahan itu tidak muncul.

Nono mencontohkan, ada satu kabupaten di Maluku, Seram bagian timur jumlah desa dan orangnya separuh dengan Maluku Tengah. “Namun Maluku Tengah mendapakan Rp 22 miliar, namun Malauku Timur mampu mendatpkan Rp 52 miliar. Itu kehebatan dari bupatinya. Maka jika desa-desa menjadi nagari akan menjadi permasalahan,” paparnya. (Red)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.