
Jakarta, Obsessionnews – Tokoh senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) AP Batubara yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) PDIP mengimbau semua pihak untuk tidak membesar-besarkan konflik antara DPRD versus Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Yang penting, tegas dia, justru dugaan korupsinya harus diproses hukum.
“Hubungan kurang harmonis antara DPRD dan Gubernur DKI tentang APBD ini melihatnya tidak usah dibesar-besarkan. Biarkan diproses secara hukum agar cepat selesai. Kalau ada bukti, harus diusut. Pokoknya uang negara tidak boleh dikorupsi,” tegas AP, sapaan akrab AP Batubara, di Jakarta, Selasa (10/3/2015).
AP berpendapat soal ‘dana siluman’ yang menjadi biang kisruh perseteruan antara Ahok vs DPRD DKI bukanlah masalah utama yang harus diselesaikan, melainkan perbuatan tidak baik yang mengakibatkan adanya dana tersebut yang harus diselesaikan.
“Bukan dana siluman itu yang diributkan, harusnya perbuatan yang diproses dan diberi perhatian agar hal seperti ini tidak terjadi lagi. Yang jelas, setiap tindakan yang diambil harus dipertanggungjawabkan,” tandas Politisi senior PDI-P.
Oleh karena itu, AP mendukung laporan Ahok ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi ‘dana siluman’ dalam APBD 2012-2014 dan RAPBD 2015 oleh pihak DPRD DKI. “Semua anggota DPRD harus diperiksa. Harta kekayaannya harus bias dipertanggungjawabkan,” tegasnya.
Ia pun menyoroti perilaku mewah anggota DPRD DKI yang memamerkan mobil mewah selain juga memiliki rumah mewah. “Itu wakil rakyat yang gak tahu malu. Semua orang tahu, gak mungkin dia bisa beli dari keringatnya sendiri. Itu di bawah tangan. Anggota DPRD DKI itu lebih kaya dari DPR RI,” sindir AP.
Lebih lanjut, AP menilai selama ini kinerja Ahok sudah baik, tetapi ia meminta Ahok perlu meningkatkan kemampuan komunikasi politik sesuai etika agar tidak menimbulkan kesalahpahaman pihak lain. Sementara untuk DPRD DKI, ia mengingatkan bahwa kekayaan yang dimiliki harus dapat dipertanggungjawabkan dengan penjelasan asal harta kekayaan tersebut.
Persoalan anggaran DKI Jakarta tersebut bermula dari draf yang diserahkan Gubernur Basuki kepada Kemendagri dengan format elektronik atau e-budgeting. Kemudian, DPRD DKI Jakarta juga menyerahkan draf RAPBD yang ditengarai oleh Gubernur terdapat pos anggaran baru senilai Rp12,1 triliun untuk pengadaan Uninterruptible Power Supply (UPS) atau penyimpan daya sementara untuk Dinas Pendidikan.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak KPK untuk segera mengusut dugaan kasus dana siluman dalam APBD 2012-2014 dan RAPBD 2015 yang dilaporkan Ahok. “KPK diperlukan. Ini kasus banyak, butuh KPK. Saya kira kepolisian tidak sanggup kalau sendirian,” tegas Aktivis ICW, Febri Hendri, Senin (9/3).
Ia pun bingung karena kepolisian ikut mengusut kasus dugaan korupsi. Mestinya, menurut Febri, hal ini mesti dilihat sesuai pertama laporan karena Ahok awalnya melaporkan dugaan ini kepada KPK. Namun, jika memang peran kepolisian diperlukan maka harus bersinergi dengan KPK. “Kepolisian boleh. Tapi, ini kasus besar. Kalau memang tujuannya baik, ya silakan. Tapi, KPK mesti dilibatkan karena kalau dibalikin pertama kan Ahok ngelaporin pertama ke KPK,” jelasnya.
Fabri pun menyarankan agar pihak KPK memaksimalkan bahan yang sudah dilaporkan Ahok. Jika masih kurang, maka komisi antirasuah itu harus gerak aktif. “Intinya KPK ya harus cepat juga. Ini bukan hanya Uninterruptible Power Supply (UPS), ada juga scanner, printer 3D,” tuturnya. (Ars)