
Oleh: Muchtar Effendi Harahap, Pengamat Politik Network for South East Asian Studies (NSEAS), dan alumnus Program Pasca Sarjana Ilmu Politik UGM Yogyakarta 1986
Pengantar
Pelayanan di bidang perdagangan dapat dilakukan melalui kegiatan pembinaan dan pelatihan kepada para pelaku bisnis terutama pengusaha mikro, kecil dan menengah. Selain itu juga dapat dilakukan pembangunan fasilitas-fasilitas perdagangan seperti pembangunan lokasi binaan, dan penataan pasar tradisional.
Target Capaian
Pada tahun 2013 Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Jokowi menetapkan rencana alokasi tahun 2013 APBD sebesar Rp. 175.838.794.521,00 (Rp.176 miliar). Sementara kemampuan Pemprov DKI menyerap anggaran tersebut Rp. 156.647.085.192,00 (Rp. 157 miliar) atau 89,09%. Hal ini menunjukkan Pemprov DKI belum mampu mencapai target alokasi APBD tahun 2013 urusan perdagangan. Kondisi kinerja urusan perdagangan tergolong buruk.
Pada tahun 2014 rencana alokasi APBD urusan perdagangan yakni Rp.22.086.766.186,00 (Rp.22 miliar). Total penyerapan sebesar Rp.14.641.831.711,00 (Rp.15 miliar) atau 66,29%. Hal ini menunjukkan Pemprov DKI semakin rendah kemampuan mencapai target alokasi APBD tahun 2014 urusan perdagangan dibandingkan capaian tahun 2013. Kondisi kinerja Pemprov di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tergolong lebih buruk.
Rencana alokasi anggaran tahun 2015 APBD sebesar Rp.29.029.169.199,00 (Rp. 29 miliar). Sedangkan total penyerapan hanya Rp.10.53.312.815,00 (Rp. 11 miliar) atau merosot drastis menjadi 36%. Hal ini menunjukkan Pemprov DKI Jakarta semakin gagal mencapai target alokasi APBD tahun 2015 urusan perdagangan di bandingkan capaian sebelumnya. Kondisi kinerja Gubernur Ahok sangat…sangat buruk.
Selama tahun 2013 hingga 2015 kondisi kinerja Pemprov DKI urusan perdagangan, yakni kurang dari 70% atau tergolong lebih buruk.
Perlambatan
Perdagangan di DKI era Ahok mengalami perlambatan. Kajian Bank Indonesia tentang ekonomi dan keuangan Regional Provinsi DKI pada Triwulan II 2015 menyebutkan struktur perekonomian Jakarta didominasi empat lapangan usaha utama. Yaitu perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor (16,8%), industri pengolahan (13,9%), konstruksi (13,2%) dan jasa keuangan dan asuransi (10%).
Keempat lapangan usaha tersebut memberikan kontribusi sebesar 2,3% terhadap total pertumbuhan ekonomi Jakarta pada triwulan II 2015 sebesar 5,15%. Lapangan usaha perdagangan besar dan eceran mengalami perlambatan dibandingkan dengan periode triwulan sebelumnya. Survei konsumen menunjukkan indeks penghasilan konsumen saat ini berada pada level pesimis. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan berkonsumsi masyarakat melemah.
Asingnisasi Tempat Dagang
Dominasi asing dan asingnisasi atas perdagangan di DKI tampaknya semakin tak terbendung.
Asing menguasai pasar perdagangan lokal. Perkembangan pangsa pasar ritel modern mayoritas dimiliki asing meningkat signifikan setiap tahun.
Bagai buah simalakama, di satu sisi masuknya peritel asing itu akan berdampak positif. Di sisi lain sangat berpotensi mematikan pasar tradisional. Dampak negatif pertumbuhan ritel modern tumbuh semakin pesat di Jakarta mulai dirasakan banyak pedagang tradisional.
Pemprov DKI tak berniat untuk menghentikan diimunisasi dunia perdagangan ini. DKI cenderung dibuka seluasnya menjadi pintu gerbang perdagangan asing di Indonesia. Padahal kini DKI menghadapi persaingan global, terutama sejak kebijakan ASEAN Economy Community, AFTA, dan lain-lain. Bisa jadi hasil perdagangan di DKI diambil oleh pelaku ekonomi dari luar/asing. Rakyat DKI tak mampu mengambil sendiri. Karena itu, Pemprov DKI harus memihak rakyat dan membendung membanyak dan meluasnya kegiatan asing dalam perdagangan.
Mimpi Ahok menjadikan DKI seperti Singapura harus ditolak. Mengapa? Hal itu justru meminggirkan lebih banyak dan masif pedagang mikro, kecil dan menengah (UKM) pribumi.
Omdo
m.tribunnews.com (10/2/2017) membeberkan opini Ahok, yakni kesehatan, perumahan dan transportasi menjadi modal DKI memasuki perdagangan bebas Asia Tenggara. Ada soal dan irasional atas opini ini. Pertama, Ahok mencitrakan bahwa dia berprestasi mengurus bidang kesehatan, perumahan dan transportasi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) selama dia jadi Gubernur. Padahal, hasil studi evaluasi kritis NSEAS, kondisi kinerjanya di bidang kesehatan, perumahan dan transportasi buruk. Tidak pernah sekalipun mencapai target yang diharapkan. Bahkan, tidak pernah menyediakan satu unit pun perumahan milik bagi MBR. Dalam hal ini Ahok tak terbukti kerja nyata. Ahok hanya omdo alias omong doang.
Kedua, perdagangan bebas Asia Tenggara menyangkut perubahan struktur ekonomi akan didominasi korporasi asing dan kelas kapitalis nasional serta lokal. Nah, dengan pelayanan kesehatan, perumahan dan transportasi sekalipun baik bagi rakyat kebanyakan, apa hubungannya dengan modal menghadapi perdagangan bebas Asia Tenggara? Seharusnya masalah perdagangan bebas ini dipecahkan dengan kebijakan Pemprov DKI tentang perdagangan memihak kepada kepentingan rakyat kebanyakan, bukan kepentingan pemilik capital, seperti pembangunan pulau palsu (reklamasi) yang menggusur sumber mata pencaharian ribuan kepala keluarga (KK) nelayan. Sekalipun mereka diberi pelayanan kesehatan, perumahan dan transportasi prima, tetapi mereka harus terpinggirkan karena ehilangan mata pencaharian dari penangkapan dan perdagangan ikan.
Ahok bahkan ingkar janji kampanye Pilkada DKI 2012. Ia bersama Jokowi berjanji akan membangun dan melaksanakan proyek mal khusus untuk pedagang kaki lima (PKL). Janji tinggal janji, hingga Ahok jadi calon gubernur pada Pilkada DKI 2017 tetap juga berjanji kampanye, janji mal PKL ini tidak pernah terealisasi. Pada tahun 2013 sempat akan dibangun, tetapi alasan Pemprov DKI irasional, yakni terbentur masalah pengadaan tanah. Tanpa ada pengakuan tidak mampu membangun mal PKL yang dijanjikan itu, tidak pernah lagi terwujud pada tahun-tahun berikutnya. Omdo lagi !!!
Kesimpulan
Di bidang perdagangan Ahok omdo. Data, fakta dan angka di atas bisa menjadi argumentasi atas penilaian kritis kondisi kinerja Pemprov DKI di bawah kepemimpinannya lebih buruk. Terjadi pelambatan perdagangan dan asingnisasi tempat dagang.
Secara empiris tiga tahun terakhir membuktikan Ahok juga omdo. Adalah layak rakyat DKI membutuhkan gubernur baru. Gubernur sekarang hanya bisa omdo. (*)