Sabtu, 20 April 24

Isu Strategis Kemacetan DKI: Ahok Gagal, Gubernur Baru Harus Berhasil

Isu Strategis Kemacetan DKI: Ahok Gagal, Gubernur Baru Harus Berhasil

Oleh: Muchtar Effendi Harahap, Peneliti Senior Network for South East Asian Studies (NSEAS), dan alumnus Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, tahun 1986

Sebagaimana banjir dan kawasan kumuh, kemacetan lalu lintas darat juga sebagai isu strategis tahunan di DKI. Hingga kini Gubernur Ahok tak mampu dan gagal urus kemacetan ini. Data, fakta dan angka berikut ini dapat membuktikan asumsi dasar tentang kinerja Ahok. Gubernur baru DKI mendatang harus berhasil memecahkan isu strategis ini.

Ahok ternyata tak mampu dan gagal memecahkan isu strategis tentang kemacetan lalu lintas darat. Bahkan, seminggu terakhir ini semakin dahsyat kemacetan. Pekerjaan konstruksi jalan di beberapa tempat tanpa pengelolaan lingkungan, dibiarkan begitu saja menimbulkan dampak negatif berat terhadap kelancaran lalu lintas. Contoh konkretnya, di lalu lintas di sekitar Pancoran, Jakarta Selatan.

Secara umum hampir semua ruas jalan arteri mengalami kemacetan. Sebelumnya Jakarta mendapat predikat buruk, yakni “Kota Paling Berbahaya”, kini mendapat predikat buruk lain: “Jakarta Kota Paling Macet Sedunia”. Menurut indeks Stop-Start Magnatec Castrol, rata-rata sebanyak 33.240 kali proses berhenti-jalan per hari di Jakarta.

Perhatikanlah penilaian beberapa orang di bawah ini:

1. Kemacetan lalu lintas saat ini semakin bertambah parah. Ini bukti kegagalan Ahok tidak mampu mengatasi kemacetan.
Rahman, warga Kramat Jati, Jakarta Timur (2/6-2016) mengakui, perjalanan dari rumah ke kantor di bilangan Jl.Sudirman bisa mencapai tiga jam. Sebelumnya paling lama satu setengah jam. (porosjakarta. com).
2. Gagal menyiapkan sistem transportasi kota dan mengatasi kemacetan. Sehingga banyak masyarakat yang akhirnya memilih menggunakan kendaraan pribadi dan justru memperparah kemacetan.(www.koeranpoerjoeangan)
3. Pendukung buta Ahok merilis video kemacetan bertambah parah dengan adanya pembangunan transportasi jangka panjang yang dikerjakan sekaligus: a. Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta Koridor I (Lebak Bulus – HI) selesai 2018;
b. Light Rail Transit (LRT) Kebayoran Lama-Kelapa Gading dan Tanah Abang-Pulomas selesai tahun 2018;
c. Transjakarta koridor layang (Ciledug-Tendean) selesai 2016.

Sikap ngeles pendukung buta Ahok ini mari diuji, apa benar Ahok membodohi rakyat Jakarta terkait cuci tangannya dalam kegagalan mengatasi kemacetan? Mari buat pertanyaan sederhana :
1. Apa benar Jakarta macet hanya karena ketiga proyek itu?
2. Apa benar kemacetan hanya terjadi di sekitar pelaksanaan ketiga proyek tersebut?
3. Apakah daerah lain selain wilayah pembangunan tersebut tidak terjadi kemacetan?

Beragam program dibuat dan dilaksanakan semata untuk memecahkan masalah kemacetan.
Pertama, pembangunan busway. Pemprov DKI ternyata tidak mampu mencapai target pengadaan busway. Pada 2013 direncanakan 310 unit namun gagal, terealisir hanya 125 unit (89 unit articulated bus dan 36 unit singgle bus).

Pada 2014, penambahan busway hanya dari hibah 30 unit sehingga jumlah busway menjadi 822 unit.

Pada 2015, pengadaan busway 75 unit. Target Ahok 725 unit busway (2013-2015), tercapai hanya 227 unit. Kinerja Ahok sangat buruk (kurang 50%).

Pada 2017 total busway tersedia ditargetkan sekitar 1.300 unit.

Pada 2015 baru ada total 996 unit. Sementara pada 2015 telah dihancurkan 180 unit yang dinilai sudah tidak laik. Maka tinggal sekitar 816 unit.

Pembangunan 3 koridor juga gagal. Sebuah koridor masih tahap konstruksi, telat waktu operasional. Dua koridor lain bahkan tidak ada kegiatan pra konstruksi sama sekali.

Dari waktu tunggu busway, target rata-rata 3 menit. Masih jauh amat tercapai. Kini rata-rata masih 10-30 menit.

Kedua, program peremajaan 1.000 bus angkutan umum per tahun. Pada akhir 2017 ditargetkan teremajakan 5.000 unit. Faktanya? Kini hanya mampu meremajakan di bawah 400 unit. Di lapangan, kendaraan umum tidak laik masih banyak berseweran di jalanan. Ahok tak mampu dan gagal melaksanakan program ini.

Ketiga, program ganjil-genap pengganti kawasan 3 in 1 yang sudah 12 tahun. Program ini justru menambah kemacetan sekitar 25%. Rakyat Jakarta seperti menjadi kelinci percobaan.

Keempat, program penertiban parkir liar kendaraan dengan mencabut pentil. Faktanya? Hanya sesaat, tidak berlanjut, bahkan dijadikan parkir resmi bayar Rp.5.000/jam. Mau bukti? Jalan-jalan ke Kampus Al Azhar yang berhadapan dengan kantor Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) di Jakarta Selatan. Dulu kendaraan parkir dikempesi bannya. Kini malah dilegalkan parkir liar itu.

Kelima, program LRT atau kereta api ringan. Faktanya, proyek ini diambil alih pemerintah (pusat) alias mengkrak.

MRT bukanlah proyek milik Pemprov DKI, tetapi pemerintah (pusat). Itupun urusan pembebasan lahan belum tuntas oleh Ahok, terutama di sepanjang Jl. Fatmawati.

Keenam, program denda parkir dan tilang yang mahal sampai Rp.500 ribuan. Juga program gusur pedagang dan Jakarta Smart City. Kemacetan bahkan semakin meningkat.

Intinya, Ahok tak mampu dan gagal memecahkan masalah kemacetan. Padahal kemacetan disadari sebagai isu strategis pembangunan DKI. Gubernur baru DKI harus berhasil. Perlu kerja terfokus dan selalu konsekuen dengan program atasi kemacetan yang telah disepakati dengan DPRD. Ini tantangan berat bagi gubernur baru. (***)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.