Oleh: Helmi Hidayat, Konsultan Ibadah PPIH, Dosen UIN Jakarta
Buat saya, dan mungkin buat mayoritas umat Islam dari seluruh dunia, Masjid Haram di Makkah adalah bangunan magis penuh eksotisme spiritual. Setiap bangunan masjid itu, selagi Kabah bisa terlihat, adalah tempat kontemplasi yang mengasyikkan. Allah dalam konsep Islam sesungguhnya adalah Tuhan yang Maha Asyik, sedang manusia yang mengenal dirinya dan karena itu mengenal Tuhannya cenderung menjadi ma’syuk. Zat penuh pesona itu selalu menenggelamkan, sedang manusia sebagai makhluk maha lemah cenderung tenggelam dalam keterpesonaan.
Di antara sudut-sudut Masjid Haram, lantai paling atas adalah tempat paling favorit buat saya berkontemplasi. Dari situ saya bisa dengan santai melihat Kabah yang berdiri kokoh sejak ribuan tahun lalu, dikitari ribuan orang yang tak henti bertawaf di sekelilingnya. Saya bisa lama sekali mengamati orang-orang itu berputar sambil menebak-nebak doa apa yang kira-kira mereka baca.
Selama memandangi Kabah, terlalu sering saya membayangkan dulu, sebelum Muhammad diangkat menjadi utusan Allah, Kabah tidak punya langit-langit seperti sekarang. Di dalam Kabah itu pernah berdiri Dewa Hubal, dengan tubuh yang lebih tinggi dari Kabah hingga kepalanya menyembul. Orang-orang di luar Kabah akan dengan mudah memandang Hubal, yang juga berarti Dewa Bulan atau Dewa Laki-laki. Dari antropologi bangsa Arab saya tahu ternyata orang Arab menganggap Bulan adalah simbol laki-laki, Matahari justru simbol perempuan. Bulan adalah laki-laki, kata mereka, karena berani berjalan sendirian di malam hari, sementara Matahari adalah perempuan karena hanya berani berjalan sendirian di siang hari.