Sabtu, 20 April 24

Mengkaji Film Karya Sutradara Perempuan Pasca Orde Baru

Mengkaji Film Karya Sutradara Perempuan Pasca Orde Baru
* Liestianingsih Dwi Dayanti.

Press Release

Yogyakarta – Film karya sutradara perempuan pasca Orde Baru menjadi penanda pergeseran perfilman Indonesia. Film karya sutradara perempuan ini menghadirkan representasi berbeda tentang perempuan dan menjadi medan diskursif perjuangan perempuan merebut kembali wacana dominan tentang relasi kuasa yang timpang. Beberapa film karya sutradara perempuan yang lahir pasca Orde Baru di antaranya Mereka Bilang Saya Monyet karya Djenar Maesa Ayu, Jamila dan Sang Presiden karya Ratna Sarumpaet, Perempuan Punya Cerita dan Cerita Cibinong disutradarai Nia Dinata, dan Cerita Jakarta disutradarai Lasja Fauzia Susatyo.

Mahasiswa program doktor Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Dra. Liestianingsih Dwi Dayanti, M.Si., mengatakan kehadiran film-film sutradara perempuan ini tidak dapat lepas dari situasi Indonesia pasca Orde Baru dengan adanya gerakan perempuan untuk memperjuangkan ketidakadilan dan diskriminasi. Di berbagai film karya sutradara perempuan, lanjutnya, umumnya menyampaikan narasi tentang wacana kekerasan terhadap perempuan yang tidak lain menggambarkan perjuangan perempuan merebut kuasa atas relasi gender yang tidak seimbang dalam struktur patriarkhi.

“Wacana dilakukan dengan menempatkan dua kutub yang berseberangan antara laki-laki sebagai pelaku dan perempuan sebagai korban,” kata Liestianingsih dalam ujian terbuka promosi doktor di Sekolah Pascasarjana UGM, Jumat (27/1).

Penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan dalam bentuk gambar dan narasi, yakni adegan, tokoh pemeran di enam film karya sutradara perempuan. Liestianingsih menambahkan representasi kekerasan dan perlawanan perempuan digambarkan dalam film tersebut. Lewat film, sutradara perempuan menampilkan kontestasi wacana perempuan merebut kuasa patriarkhi dalan wujud perempuan kuat dan cerdas. Bahkan, narasi dominan perempuan dihadirkan lewat bingkai kekerasan di ranah privat, publik, negara, dan pemosisian perempuan sebagai properti ekononi.

“Film karya sutradara perempuan ini merupakan medan kekerasan berbasis gender dengan menghadirkan kekerasan dari berbagai kelas sosial dengan lokasi di ranah privat, publik dan negara,” katanya.

Beberapa sutradara perempuan seperti Nia Dinata, Upi Avianto, Lasja Fauzia, Ratna Sarumpaet, Lola Amaria, Nan T Achnas, Djaenar Maesa Ayu dan Fatimah T Rony, menurutnya, banyak mendapatkan penghargaan dalam berbagai festival film nasional dan internasional atas karya yang mereka sudah hasilkan.

“Apresiasi terhadap film hasil karya perempuan sutradara di berbagai festival nasional maupun internasional menjadi indikasi film sutradara perempuan bukan film biasa,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.