Kamis, 25 April 24

Panglima TNI

Panglima TNI
* Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo dan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi.
Oleh: Amir Santoso, Pengamat Politik
Banyak yang mengira, langkah Jenderal Gatot Nurmantyo mendekati ulama dan ummat Islam sebagai langkah politik menghadapi pilpres 2019. Jika dugaan itu benar, memangnya kenapa dan mau apa? Adalah hak Jenderal Gatot untuk melangkahkan kakinya kemana saja, kok kita ribut? Memang ada yang mempersoalkan jabatan Jenderal Gatot sebagai Panglima TNI aktif sehingga menurut UU mestinya tidak boleh melakukan aktivitas yang berbau politik. Disebut berbau politik karena saat ini ulama dan ummat Islam sedang tabu untuk di dekati karena banyak yang takut. Kuatir jika Islam berkuasa maka tidak akan ada lagi Pancasila, kebhinnekaan dan toleransi. Tapi apa iya begitu?
Rasanya sejak dulu Indonesia ini menjadi ada dan kebhinnekaannya  terawat dengan baik karena kita memiliki mayoritas Muslim yang tolerans. Andaikata negara kita dihuni oleh mayoritas Muslim yang berangasan pasti negara ini sudah lama dilanda konflik terus menerus seperti di beberapa negara lain.
Ketakutan terhadap Islam itu hanyalah refleksi dari persaingan politik.  Ketakutan itu di besar-besarkan sebagai komoditas dalam rangka kampanye memenangkan pertarungan politik. Pencitraan Islam sebagai agama radikal hanyalah  cap politik untuk menarik perhatian agar publik tidak memilih partai atau tokoh yang dekat dengan Islam. Kebetulan secara bersamaan memang virus Islamophobia sedang gencar disebarkan oleh negara-negara asing yang secara tradisional anti Islam. Akibatnya kampanye anti Islam mendapat bantuan secara massif dari negara-negara tsb.
Melalui cara pandang seperti itulah kita bisa memahami mengapa sikap Panglima TNI yang mesra terhadap ummat Islam mendapat kecaman dari pihak-pihak tertentu di dalam negeri sedangkan dari luarnegeri sudah terjadi dalam bentuk penolakan masuk Ke AS. Itu sekedar signal dari AS agar Pak Gatot jika ingin terus memperoleh jabatan politik, jangan bermesraan dengan ulama dan ummat Islam.
Menghadapi tekanan tersebut tentu terpulang kepada Jenderal Gatot sendiri, Apakah tetap bertahan terhadap bisikan hati nuraninya untuk dekat dengan Islam yang merupakan agamanya, ataukah menyerah terhadap tekanan-tekanan  tersebut.
Kalau Jenderal Gatot memilih menyerah terhadap tekanan tersebut justru citranya akan rusak terutama di kalangan Islam.
Pilihan mendekati dan membela ummat Islam adalah pilihan yang sudah benar. Sebab Islam adalah agama mayoritas di negara kita. Pemimpin negara manapun tidak pernah ada yang memusuhi golongan mayoritas di negaranya. Trump memenangkan pilpres di AS adalah karena berpihak kepada kepentingan mayoritas rakyat AS. Terlepas dari munculnya banyak kecaman terhadap Trump Tapi dia sudah memenangkan pilpres.
Kalau Jenderal Gatot menyerah terhadap tekanan tersebut, ummat Islam akan menganggap Pak Gatot plinplan dan sama saja dengan sikap beberapa politisi lain yang selalu mengikuti arah angin. Bertahan dalam prinsip memang berat tapi itu adalah sikap yang benar.  Negeri ini membutuhkan pemimpin yang kokoh dalam prinsip hidupnya dan tidak mudah memutar haluan atas dasar tekanan atau iming-iming. Yang Demokrat teguh lah dengan prinsip demokrasi nya; yang Nasionalis tetap lah dengan prinsipnya; yang Kristen, Katholik, Budha, Hindu dll teguhlah dengan prinsipnya. (***)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.