Jumat, 19 April 24

Nasib Atlet PSSI yang Merana di Kala Tua

Oleh: Rinaldi MunirDosen Teknik Informatika ITB

 

Kemarin pagi ketika saya sedang duduk-duduk di teras rumah, lewatlah seorang bapak tua yang menjajakan dagangan berupa sapu, ember, dan peralatan rumah lainnya. Karena memang ingin membeli sapu lidi, saya panggillah dia. Harga sapu lidinya Rp25.000. Tanpa saya tawar lagi, saya pun membelinya. Kepada pedagang-pedagang tua seperti bapak ini saya sering tidak tega menawar barang. Ada rasa kasihan melihatnya. Cara terbaik membantu mereka adalah membeli dagangannya, meskipun kita mungkin tidak terlalu membutuhkannya saat itu.

Setelah uang diterima, bapak tua itu berkata begini. “Cep, nanti malam ada Persib di TV lawan Barito Putra”.

Saya hanya tersenyum. Saya bukan penyuka bola. Anak saya yang nomor dua yang hobi bola. “Suka nonton bola, nggak?” tanyanya.

“Nggak aki, anak saya yang suka” jawab saya.

“Bapak dulu pemain PSSI tahun 1949,” dia melanjutkan kata-katanya.

“Oh ya?”. Saya pun mulai tertarik mendengarkannya.

Bapak pedagang sapu itu bernama Suhatman. Menurut ceritanya, dia mantan pemain PSSI tahun 1949 (mungkin maksudnya tahun 1959, saya kurang persis mendengarnya) yang pernah mengharumkan nama Indonesia di berbagai kancah laga internasional. Posisinya sebagai pemain gelandang. Dia pernah bermain di Afghanistan, Australia, dan lain-lain. Dia masih ingat nama salah satu pemain saat itu, Saelan. Tahun 50-an kesebelasan Indonesia termasuk yang disegani di kawasan Asia.

Tanpa diminta dia bercerita tentang pengalaman main bolanya, pelatihnya, dan kondisi sepakbola Indonesia saat ini. Tak lupa dia memperagakan tendangan andalannya yang ia sebut “tendangan pisang”. Pak Suhatman bercerita, sampai tahun 70-an namanya masih tertulis di Gelora Senayan, tetapi sekarang sudah dihapus, ceritanya sedih. Saya mulai percaya dengan ceritanya. Saya pikir Pak Suhatman ini orang jujur dan tidak  mungkin mengada-ada. Untuk apa dia bercerita soal sepakbola begitu lengkap, tentu bukan karena motif ekonomi.

“Kalau jadi pemain bola nggak dapat uang pensiun,” katanya sedih.

Jadilah pada masa tuanya hidup Pak Suhatman merana seperti sekarang. Dulu dia pernah dijanjikan kerja di PLN oleh walikota Bandung (alm) Ateng Wahyudi, tetapi tidak terealisasi. Sekarang dia harus mencari uang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Agak susah dia mendengar pertanyaan saya karena pendengarannya terganggu. Ini karena dulu kepalanya sering kena sleading bola, katanya. Umurnya saat ini 79 tahun dan masih sehat berjalan. Saya bertanya asalnya dari mana, dia jawab dari Rajagaluh, Ciamis. Sekarang dia tinggal di gang sempit di Cicadas. Anak-anaknya sudah meninggal dunia, hanya satu anak perempuannya yang masih hidup, tetapi menantunya tidak suka kepadanya. Pak Suhatman harus mencari hidupnya sendiri.  Berjualan sapu dan ember adalah atas kebaikan seorang Babah Tionghoa yang menjadi majikannya. Semua barang jualan ini adalah milik si Babah. Dia hanya menjualkan saja.

Uang lima puluh ribu untuk membeli sapu tidak saya minta kembaliannya. “Buat Pak Suhatman saja”, kata saya.

Dia merasa sangat terharu, dipeluknya saya dan didoakannya saya serta keluarga saya.

Saya tatap kepergian pak Suhatman. Saya merasa iba seorang atlet yang pernah mengharumkan nama Indonesia pada tahun 50-an tetapi hidup mengenaskan pada masa tuanya. Dia tidak sendiri, masih banyak atlet lain yang pernah mengharumkan nama bangsa namun kurang mendapat perhatian Pemerintah, mereka harus bertahan hidup dengan usaha apa saja. Membuka usaha warung, menjadi tukang beca, kuli angkat, tukang ojeg, atau pedagang keliling seperti Pak Suhatman ini.

Semoga Aki Suhatman selalu tetap sehat dan dilindungi oleh Allah SWT. Amin. (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.