Jumat, 19 April 24

Moratorium Ujian Nasional

Moratorium Ujian Nasional

Oleh: Darmaningtyas, Pemerhati Pendidikan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengusulkan perlunya moratorium ujian nasional (UN) dengan alasan: Pertama, mutu pendidikan yang belum merata, baru 30% sekolah yang sudah mencapai standar nasional pendidikan (SNP), sedangkan yang 70% belum belum memenuhi SNP sehingga lebih baik meningkatkan kualitas mereka. Kedua, terkait dengan pelimpahan kewenangan pengelolaan pendidikan dasar di Kabupaten/Kota, serta SMA/SMK ke Pemerintah Provinsi.  Alasan ketiga adalah besarnya dana yang diperlukan untuk penyelenggaraan UN yang setiap tahun mencapai Rp. 500,-.

Bagi penulis, wacana tentang moratorium  UN tersebut merupakan kabar gembira, karena itulah yang selama satu dekade lebih penulis perjuangkan melalui berbagai tulisan dan forum. Perjuangan pertama agar UN tidak menjadi penentu kelulusan telah berakhir dua tahun silam ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menghapuskan fungsi UN sebagai penentu kelulusan dan hanya menjadikan UN sebagai sarana pemetaan kualitas saja. Keputusan Menteri Anies Baswedan itu mampu meredam kehebohan di masyarakat yang selalu muncul menjelang pelaksanaan UN.

Moratorium UN yang diwacanakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir ini lebih radikal lagi, karena bukan hanya menyederhanakan fungsi UN sebagai pemetaan kualitas, tapi menghentikan sementara pelaksanaan UN sampai dengan terpenuhinya delapan SNP sebagamana diamanatkan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional. Delapan SNP tersebut mencakup: standar kompetensi kelulusan, standar isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar prasarana dan sarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan pendidikan, dan standar penilaian. Pelaksanaan ujian diserahkan ke daerah sesuai dengan kewenangannya, yaitu untuk tingkat SD-SMP diserahkan kepada Pemkab/Pemkot, sedangkan untuk SMA/SMK diserahkan kepada Pemprov. Ini sesuai dengan amanat UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang membagi kewenangan pengelolaan pendidikan kepada Kabupaten/Kota untuk SD-SMP dan Pemprov untuk SMA/SMK.

Langkah Tepat

Melihat Indonesia ini amat luas dan beragam kondisi geografis, ekonomis, sosial, dan budayanya; langkah Menteri Muhadjir itu sangat tepat, bahwa perlu melakukan moratorium UN sampai terpenuhinya delapan standar nasional pendidikan. Pelaksanaan UN selama ini memang ironis, karena tujuh standar nasional pendidikan lainnya yang menjadi penopang utama kualitas pendidikan belum terpenuhi, tapi standarisasi penilaian melalui UN sudah dilakukan. Mestinya, standar penilaian itu diterapkan terakhir ketika tujuh SNP lainnya sudah terpenuhi, terutama prasarana dan sarana serta tenaga pendidik (guru), mengingat sampai saat ini masih banyak sekolah yang gedungnya reyot dan tidak memiliki fasilitas lain berupa laboratorium, perpustakaan, dan ruang guru. Distribusi guru juga tidak merata, menumpuk di kota.

Kita tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh ke NTT, Maluku Utara, atau Papua, di wilayah Jabodetabek pun ada contoh yang menyedihkan. Dari 62 SDN di salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor misalnya, rata-rata hanya memiliki 2-3 guru PNS, termasuk kepala sekolah. Akhirnya proses pembelajaran dicukupi oleh guru honorer, tapi gaji guru honorer hanya Rp. 450.000,- saja sehingga tidak layak dan tidak mampu memberikan insentif kepada guru untuk bertugas lebih giat lagi. Pada 2020 nanti diperkirakan akan terjadi darurat guru PNS, karena guru-guru senior sudah pensiun, sementara pengangkatan guru PNS baru satu tahun dalam satu kabupaten hanya 50 orang saja.

Persoalan yang dihadapi oleh salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor itu merupakan representasi dari persoalan nasional, bahwa distribusi guru tidak merata, karena mayoritas guru menumpuk di kota-kota besar, akhirnya daerah pinggiran kekurangan guru. Padahal, guru merupakan kunci utama keberhasilan pendidikan. Banyak orang mengatakan, tidak ada gedung dan tidak ada kurikulum, asalkan terdapat guru yang baik, proses pendidikan akan berjalan dengan baik. Secara otomatis, kalau tidak tersedia guru, proses pendidikan tidak dapat berjalan. Wajar bila kemudian, setelah 14 tahun kebijakan UN diterapkan, kesenjanan pendidikan itu tidak teratasi, dan hanya 30% sekolah yang mampu memenuhi standar nasional pendidikan, sedangkan 70%-nya belum memenuhi standar nasional pendidikan. Itu artinya hasil UN tidak dijadikan sebagai basis data untuk melakukan pembinaan kepada sekolah-sekolah seperti yang dijanjikan oleh beberapa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pendukung rezim UN.

Moratorium UN yang akan dilakukan oleh Menteri Muhadjir ini dapat menjadi momentum yang bagus untuk membenahi delapan standar nasional pendidikan. Logika yang dipakai oleh Menteri Muhadjir itu sudah tepat, bahwa ketujuh standar nasional pendidikan iu dilaksanakan terlebih dahulu, setelah terpenuhi, sehingga minimal 70% sekolah di Indonesia sudah memenuhi ketujuh standar tersebut, baru standar kedelapan, yaitu standar penilaiannya diterapkan secara nasional. Percuma saja bila penilaiannya distandarisasi sejak awal, tapi ketujuh standar yang pokok justru tidak diwujudkan.

Seleksi Murid Baru

Muncul pertanyaan, bagaimana proses seleksi penerimaan murid baru bila tidak ada UN?

Jawabanya sederhana saja, bahwa sesuai dengan kewenangannya, seleksi penerimaan murid baru di SD-SMP itu menjadi kewenangan Pemkab/Pemkot, sedangkan penerimaan murid baru di SMA/SMK menjadi kewenangan Pemprov. Dengan demikian tidak ada masalah karena Pemkab/Pemkot menyelenggarakan ujian sesuai dengan kewenangan tersebut, sehingga penerimaan murid SMP dapat berdasarkan  hasil ujian SD yang diselenggarakan oleh Pemda. Demikian pula penerimaan murid SMA/SMK dapat berdasarkan hasil ujian SMP yang disenggarakan oleh Pemda. Meskipun secara kewenangan berbeda, SD-SMP di bawah Pemda dan SMA/SMK dibawah Pemprov, tapi murid-murid SMA/SMK Kabupaten Bekasi misalnya, juga berasal dari murid-murid SMP di Kabupaten Bekasi. Artinya, kita tidak perlu  meragukan kualitas hasil ujian daerah yang dipakai sebagai dasar penerimaan murid baru di SMA/SMK. Sedangkan penerimaan mahasiswa baru di PTN sejak dulu tidak pernah memakai hasil UN. Jalur undangan lebih mendasarkan pada rapor, sedangkan seleksi bersama dengan tes. Jadi morarotium UN itu sama sekali tidak kan menyulitkan proses penerimaan murid baru pada masing-masin jenjang. Apalagi kalau mau konsisten, penerimaan murid di SMPN semestinya tidak mendasarkan nilai ujian, tapi berdasarkan rayon mengingat SMP itu masuk wajib belajar, sehingga warga di sekitar SMPN wajib diterima di SMPN sekitarnya.

Keuntungan dari moratorium UN ini adalah penghematan anggaran Rp.500 miliar setiap tahun yang selama ini dipakai untuk pelaksanaan UN,ke depan dapat dipergunakan untuk perbaikan infrastruktur pendidikan maupun peningkatan kuantitas dan kualitas guru sehingga jumlah sekolah yang memenuhi standar nasional pendidikan meningkat. Kelak, setelah 70% sekolah di Indonesia memenuhi standar nasional pendidikan, moratorium bisa dicabut dan UN dilaksanakan lagi. Kalau UN-nya sekarang percuma saja. Dan khusus SMK tidak perlu UN karena kompetensi mereka ditentukan oleh pasar. Sia-sia saja mereka UN sementara nilai UN itu tidak diperlukan oleh pasar tenaga kerja, yang diperlukan adalah kompetensi yang dimilikinya.

Selama ini hasil UN dipergunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemerataan mutu program dan/atau satuan pendidikan, dasar seleksi masuk ke jenjang berikutnya, pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan penentuan kelulusan dari satuan pendidikan.

Agar dihapuskannya kebijakan UN yang dirasakan tidak adil, karena orang-orang miskin dan bodoh yang bersekolah di sekolah-sekolah swasta pinggiran selalu menjadi korban utamanya. Penulis selalu mengusulkan  agar UN diganti dengan tes diagnostic, yaitu suatu tes yang dimaksudkan untuk mendiagnosis kemampuan murid, sekolah, dan daerah dalam penyelenggaraan pendidikan. Tes diagnostik itu pernah diperkenalkan pada masa Dr. Daoed Joesoef menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1978-1983). Tes diagnostic dapat dilaksanakan 2-3 tahun sekali, tidak setiap tahun, sehingga dana besar yang selama ini dialokasikan untuk pelaksanaan UN tersebut dapat dipergunakan untuk perbaikan infrastruktur sekolah (gedung, laboratorium, perpustakaan, dll) maupun peningkatan kualitas guru.

Sesuai dengan namanya, tes ini tidak berdampak pada lulus dan tidak lulus, tapi sekadar untuk mengetahui kemampuan atau daya serap murid, sekolah, dan daerah terhadap bidang yang diteskan. Berdasarkan hasil tes diagnostik.

Dengan alasan yang sama pula penulis memperjuangkan peniadaan UN setiap tahun, karena daripada dana Rp. 500 miliar untuk  dan menggantinya dengan tes diagnostik. (*)

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.