Selasa, 23 April 24

Mari Kita Rebut Jakarta

Mari Kita Rebut Jakarta

Oleh: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute

Salah satu isu krusial di balik Pilgub DKI Jakarta adalah reklamasi Teluk Jakarta. Bukan sekadar mau membangun 17 pulau buatan, melainkan soal upaya menghapus ingatan sejarah, agar generasi muda kita tidak punya narasi sejarah soal geopolitik Jakarta.

Mari kita kenali dulu karakteristik geografis Teluk Jakarta. Pulau-pulau yang terdapat di Teluk Jakarta masuk ke dalam gugusan Kepulauan Seribu. Ada sepuluh pulau di perairan Teluk Jakarta, yakni Pulau Onrust, Pulau Bidadari, Pulau Cipir, Pulau Kelor, Pulau Edam, Pulau Tala, Pulau Monyet, Pulau Air, Pulau Untung Jawa, dan Pulau Rambut.

Sebelum rencana reklamasi ini muncul, pulau-pulau tersebut ada yang dimanfaatkan sebagai pemukiman, suaka satwa, suaka purbakala, dan objek wisata.

Bagaimana dengan pulau-pulau lainnya?

Yang menjadi pemukiman penduduk adalah Pulau Untung Jawa. Adapun yang dijadikan obyek pelestarian arkeologi atau suaka purbakala adalah Pulau Onrust. Sedangkan Pulau Edam, Pulau Ciipir dan Pulau Bidadari menjadi tempat penyimpanan peninggalan sejarah masa lalu seperti bekas reruntuhan benteng VOC Belanda.

Pulau Rambut jadi tempat pelestarian satwa burung. Yang menjadi objek bagi para wisatawan yang dilengkapi fasilitas penginapan adalah Pulau Pulau Bidadari dan Pulau Air.

Bagaimana dengan daerah pesisir? Pada pesisir Jakarta yang membentang dari Marunda di sebelah timur hingga Kamal Muara di sebelah barat terdapat beberapa muara sungai dan kanal di antaranya adalah sungai yang bermuara di  Teluk Jakarta, yakni Muara Blencong di Marunda, Muara Cakung di Cilincing atau disebut juga Muara Cilandak, Muara banglio di Cilincing atau disebut juga Muara Cilincing, Muara kresek di Lagua, Muara Anak Kali Ciliwung  di Pasar Ikan, Muara kali Jelakeng di Muara Karang, Muara Angke, Muara Kpuk Cengkareng DirainageM, dan Muara Kamal.

Sekian saja soal karakteristik geografis Teluk Jakarta yang berbasis pulau.

Sekarang soal pelabuhan. Tentu saja yang paling bersejarah adalah Pelabuhan Sunda Kelapa. Dulunya bernama Pelabuhan Kelapa di bawah kekuasaan kerajaan Sunda pada awal abad ke-16.

Kemudian berubah menjadi Pelabuhan Jayakarta setelah Fatahillah berhasil merebut Jayakarta dari tangan Portugis. Dari riwayat kesejarahan ini saja mengandung kisah sejarah kepahlawanan nenek moyang dan leluhur bangsa kita sangat tergambar dengan jelas.

Bayangkan, jika epos kepahlawanan Fatahilah dalam menaklukkan Jayakarta dari tangan Portugis akan hilang dari ingatan generasi muda. Hanya gara-gara ambisi ekonomi segelintir elite politik dan penguasa lokal.

Bagaimana ketika VOC Belanda menguasai Jayakarta pada 1619? Nama pelabuhan itu kemudian berubah menjadi pelabuhan Batavia. Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, 15 tahun kemudian, tepatnya pada 1960, diberi nama Sunda Kelapa. Aktivitas utama Pelabuhan Sunda Kelapa sejak itu adalah bongkar muat. Bahkan sejak 1990 ditetapkan sebagai pelabuhan tradisional yang mengacu kepada upaya pelestarian kegiatan khususnya kegiatan bongkar muat kayu.

Pelabuhan Sunda Kelapa ini ditelisik dari sejarahnya, memang bersenyawa dengan keberadaan  Jakarta seperti kita kenal sekarang. Sebab tanpa Sunda Kelapa masyarakat kita sekarang tak mungkin terjembatani ingatan sejarahnya pada asal-usul Jakarta, yang dulunya bernama Jayakarta.

Antara abad ke-14 hingga abad ke-16, Pelabuhan Sunda Kelapa yang luasnya hanya beberapa kilometer persegi saja dan terletak di sungai Ciliwung, berkembang menjadi bandar pelabuhan yang ramai. Dan banyak didatangi para pedagang dari Sumatera, Makasar, Kalimantan dan Maluku. Bahkan disinggahi juga oleh kapal-kapal asing dari negara-negara tetangga di kawasan Asia.

Di sinilah awal mula Portugis, negara Eropa yang waktu itu sangat ambisius untuk menjajah berbagai negara di Asia, kemudian mengincar Sunda Kelapa. Bahkan berani-beraninya membangun benteng di Sunda Kelapa.

Untunglah Fatahillah berhasil mencium gelagat buruk adanya niat Portugis itu. Sehingga kemudian menggalang persekutuan militer dari dua kerajaan muslim Nusantara yaitu Cirebon-Banten. Sehingga armada Portugis berhasil dihadang dan kembali ke Malaka.

Inilah aspek sejarah yang amat penting bagi kita warga Jakata sekarang. Bahwa kemenangan Fatahillah merebut kembali Sunda Kelapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Yang sekarang menjadi hari lahir kota Jakarta.

Nama Jayakarta diberikan oleh Fatahillah yang diilhami Al Quran surat Al Fath ayat 1 yang berbunyi : “Sesungguhnya kami telah memberikan kemenangan kepadamu, kemenangan yang tegas.”

Begitulah. Kemenangan yang tegas dan sempurna itu dialihbahasakan menjadi Jayakarta. Kota kemenangan. (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.