Jumat, 26 April 24

Korupsi e-KTP: Seperti Menangisi Susu yang Tumpah

Korupsi e-KTP: Seperti Menangisi Susu yang Tumpah

Oleh:Muhammad AS Hikam, Pengamat Politik Universitas Presiden

 

Presiden Jokokwi (PJ) merasa menjadi salah satu pihak yang dirugikan oleh skandal e-KTP yang kini sudah masuk dalam sidang pengadilan tipikor. Ini bukan hanya kerena besarnya jumlah uang negara yang ditilep para ‘garong’, yang terdiri atas aparat eksekutif, legislatif, dan pengusaha swasta serta orang-perorang itu, sampai bilangan triliunan rupiah. Tetapi juga, dan tak kalah penting, implikasi rasuah tersebut terhadap sistem pemerintahan.

PJ memakai istilah dalam bahasa Jawa: ‘bubrah’ (rusak parah) untuk menggambarkan magnitude atau besaran kerusakan yang diakibatkan oleh skandal tersebut.

PJ membuat daftar kerusakan sistemik yang diakibatkan oleh skandal ini. Termasuk, dan tak terbatas pada: 1) urusan paspor; 2) urusan SIM; 3) perpajakan; 4) urusan di perbankan; 5) Pilkada; 6) Pemilu, dan tentunya anda masih bisa memperpanjangnya lagi.

Walhasil, seperti kata PJ,”Sistem yang kita bangun … sekarang menjadi bubrah (rusak) semua gara-gara anggarannya (e-KTP red.) dikorup.”

Kekesalan sang Presiden tentu saja sangat masuk akal dan resonansinya sampai ke seluruh rakyat dan bahkan implikasinya pun dirasakan oleh negara-negara yang mempunya urusan dengan Indonesia, khususnya bidang ekonomi, industri, perdagangan, luar negeri, dan lain-lain. Dengan kata lain skandal e-KTP adalah layak untuk dikategorikan sebagai kejahatan besar dan sistemik karena berimplikasi kepada bubrahnya tata pemerintahan dan kinerja pemerintahan, selain juga kerugian material dan non material bagi negara dan rakyat Indonesia.

Kendati demikian, saya termasuk skeptis bahwa skandal yang membubrahkan kehidupan bangsa dan negara ini akan bisa dituntaskan dengan memuaskan atau sesuai rasa keadilan. Pasalnya, skandal-skandal korupsi dengan magnitude kerusakannya sudah sampai pada tingkat “Perang Bharatayudha” seperti e-KTP ini masih banyak. Sebut saja, tiga besar skandal: BLBI, Century-gate, dan Hambalang.

Saya percaya dan optimis bahwa KPK masih terus berusaha melakukan penyelidikan dan tidak akan menyerah.

Tetapi saya juga cukup realistis untuk tidak kaget bahwa kesemuanya itu tidak akan sampai pada penuntasan (closure) yang optimal. Mengapa? Jawabnya sederhana: politik.

KPK boleh saja menyatakan bahwa pihaknya akan mengesampingkan implikasi atau pengaruh politik dalam menyelesaikan kasus e-KTP. Saya setuju dan itu adalah sikap yang seharusnya. Namun mungkinkah aspek politik dikesampingkan dalam menghadapi skandal-skandal korupsi raksasa? Hanya manusia yang naif saja yang bisa diselomoti oleh retorika seperti itu. Sebab setiap langkah bahkan ucapan pihak KPK atau aparat penegak hukum lainnya semuanya tak mungkin lepas dari pertimbangan politik. Hal itu bukan karena maunya KPK dan para pelaksana di lembaga tersebut, tetapi bisa saja karena tekanan pihak luar.

Lebih jauh, skandal e-KTP juga bisa menjadi bagian dari manuver politik dari kelompok-kelompok kepentingan tertentu untuk melemahkan lawan. Kegaduhan politik yang akan ditimbulkan oleh skandal e-KTP (seperti juga BLBI, Century, dan Hambalang) bisa menghantam semua parpol dan oknum-oknum elite parpol, termasuk yang di Senayan. Apalagi jika benar informasi yang beredar di ruang publik bahwa mereka yang konon diduga menerima rasuah itu berasal dari semua parpol!

Karenanya, kendati saya gembira bahwa PJ menyatakan bahwa skandal e-KTP ini berdampak kerusakan sistemik, namun saya juga tidak akan terlalu berharap banyak. Jika KPK bisa mengembalikan sebagian besar uang negara yang digarong melalui proyek e-KTP, bagi saya sudah memadai. Akan halnya hukuman kepada parpol dan oknum-oknumnya yang terlibat, saya cuma bisa berharap KPK tetap membeberkan nama-nama mereka, kalaupun pada akhirnya akan sulit mengeksekusinya karena berhadapan dengan tembok-tembok politik yang besar dan tebal. Mungkin nanti ‘hukuman’ dari masyarakat Indonesia akan lebih efektif jika nama-nama tersebut selalu muncul di media dan ruang publik, sehingga mereka tidak lagi dianggap layak untuk muncul dalam panggung politik di pusat dan/atau daerah-daerah. Bukan tidak mungkin, parpol-parpol yang menjadi sarang garong juga akan ditolak oleh rakyat.

Memang pandangan saya ini bisa dianggap minimalis atau bahkan pesimistis. Tapi seperti kata pepatah, ‘tak ada gunanya menangisi susu yang sudah tumpah (there’s no use crying over spilt milk). Yang masih ada saja yang dimanfaatkan seoptimal mungkin, sambil tetap mendukung, melindungi, dan mendorong KPK untuk tetap menjadi lembaga mandiri, semakin berdaya, dan efektif di masa depan. Jangan sampai karena dikeroyok oleh kekuatan politik Kurawa ini, KPK yang notabene lembaga yang paling dipercaya dan dicintai rakyat Indonesia tersebut malah terpuruk. (*)

Simak tautan ini:

1. http://www.cnnindonesia.com/nasional/20170311135020-12-199409/jokowi-korupsi-e-ktp-bikin-semua-bubrah/

2. https://www.merdeka.com/peristiwa/kpk-tak-peduli-dampak-politik-di-kasus-korupsi-e-ktp.html

3. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/17/03/10/oml4tb385-yusril-parpol-yang-diduga-menerima-suap-ektp-dapat-dibubarkan

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.