Sabtu, 20 April 24

Jokowi Sangat Mungkin Gagal: Faktor Elektabilitas PDIP

Jokowi Sangat Mungkin Gagal: Faktor Elektabilitas PDIP

Oleh: Muchtar Effendi Harahap, Peneliti Senior Network for South East Asian Studies (NSEAS), dan alumnus Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, tahun 1986

 

Salah satu dari sejumlah faktor sangat mungkin Jokowi gagal Pilpres 2019 mendatang yaitu menurunnya elektabilitas PDIP.

PDIP adalah pengusung dan pendukung utama Jokowi meraih jabatan Presiden. Meskipun Golkar secara resmi sudah mendukung Jokowi Pilpres 2019, namun tetap saja PDIP sebagai penentu. Disamping Jokowi kader, PDIP merupakan parpol besar dan pengusung pertama Jokowi Pilpres 2014 lalu. Perkiraan PDIP pendukung utama Jokowi tentu saja tidak ada kepastian. Mengingat politik di Indonesia ini cenderung unpredictable atau tak dapat diramalkan apa yang akan terjadi. Salah satu sebabnya yakni proses pengambilan keputusan sangat personal atau pribadi pemilik kekuasaan seperti Ketua atau Pembina Partai.

Makna “elektabilitas” yaitu tingkat keterpilihan disesuaikan dengan kriteria pilihan. Elektabilitas parpol berarti tingkat keterpilihan parpol di publik. Elektabilitas parpol tinggi berarti parpol tersebut memiliki daya pilih tinggi.

Situs media online membeberkan, hasil survei Center Strategic International Studies (CSIS) menunjukkan, 13 September 2016, elektabilitas PDIP dan Golkar menyatakan dukungan ke Jokowi naik cukup signifikan.

PDIP tahun lalu tingkat elektabilitas 32,0%, sekarang naik menjadi 34,6%. Begitu juga dengan Golkar, tahun lalu tingkat elektabilitas partai 11,4%, menjadi 14,1%,”.
Disimpulkan, bagi parpol mendukung Jokowi akan mengalami kenaikan elektabilitas.

SMRC baru2 ini merilis hasil survei bertajuk ‘Kondisi Politik Nasional Pasca-Pilgub DKI Jakarta. PDIP diprediksi memenangi Pemilu 2019 dengan elektabilitas 21,7 persen. Gerindra menempati urutan kedua dengan 9,3 persen lalu disusul oleh Golkar 9 persen.

Angka elektabilitas PDIP versi SMRC (21,7 persen) jauh lebih rendah angka versi CSIS (34,6 persen). Boleh juga dimaknakan, terdapat penurunan elektabilitas PDIP Pasca Pilkada DKI.

Lebih jauh SMRC menyimpulkan, tidak ada pengaruh Pilkada DKI terhadap elektabilitas PDIP. Padahal kita ketahui, Paslon dukungan PDIP kalah telak.

Dalam menarik kesimpulan, kerangka berpikir SMRC ini tentu miskin metodologis, karena peristiwa politik Pilkada level suatu Provinsi dianggap berpengaruh terhadap elektabilitas PDIP level nasional. Seharusnya peristiwa2 level nasional dijadikan variabel bebas terhadap variabel bergantung elektabilitas PDIP. Seberapa besar dan banyak Pilkada tingkat nasional PDIP gagal menyebabkan turunnya elektabilitas PDIP. Harus ada kajian perbandingan kondisi elektabilitas PDIP sebelum dan sesudah beruntunnya kekalahan PDIP pd berbagai Pilkada secara nasional, termasuk kekalahan Pilkada DKI. Jika elektabilitas PDIP tetap tidak merosot, bagaimana menjelaskan PDIP mengalami sejumlah kekalahan, termasuk di Banten dan DKI ?

Bagaimanapun, Tim Studi NSEAS percaya, belakangan ini sesungguhnya elektabilitas PDIP kian merosot. Hal ini bisa dibuktikan dengan kegagalan PDIP mempertahankan sejumlah kekuasaan lokal/daerah melalui Pilkada serentak 25 Februari 2017. PDIP alami kekalahan pahit dan bertubi-tubi pd Pilkada serentak dimaksud. Bahkan, ada isu di medsos, Megawati ingin mengundurkan diri dari PDIP pasca kekalahan tersebut.

Pada Pilkada serentak, terdapat 101 titik melakukan pilkada. Tak sedikit kader diusung PDIP beserta koalisi politik harus mengalami kekalahan pahit. Dari tujuh pemilihan gubernur (Pilgub) misalnya, ada tiga provinsi PDIP mengalami kekalahan, yakni Provinsi Bangka Belitung, Gorontalo, dan Banten. Tragis lagi, pd Pilkada DKI, Paslon Ahok-Djarot incumbent dukungan PDIP, harus terima kenyataan pahit kalah telak dan kehilangan kekuasaan di Pemprov DKI Jakarta. PDIP kehilangan kuasaan di dua Provinsi Strategis Banten dan DKI.

Berikut ini beberapa kegagalan PDIP dimaksud. Sebuah sumber menunjukkan peringkat parpol meraih kemenangan Pilkada serentak 2017. Sumber tsb menempatkan Golkar posisi teratas dalam peraihan kemenangan. Hal ini membuktikan, PDIP sebagai parpol penguasa tak mampu dan gagal menguasai peta perpolitikan Indonesia.

Secara rinci urutan parpol meraih kemenangan sebagai berikut:
1. Golkar, 54 kemenangan;
2. Nasdem, 47;
3. Demokrat, 45;
4. PDIP, 45;
5. Gerindra 40;
6. PKB, 40;
7. PKS, 39;
8. PAN, 39;
9. Hanura, 35;
10. PPP, 26;
11. PBB, 11; dan,
12. PKPI , 3 kemenangan.

Data di atas menunjukkan PDIP berada pada peringkat 4 atau sama dengan Demokrat, dan kalah sama bahkan Nasdem.

Merosotnya elektabilitas PDIP dibuktikan dari kekalahan bertubi-tubi, bahkan kehilangan kekuasaan di Banten dan DKI, serta raihan hanya peringkat keempat. Namun, hipotesis ini tentu perlu dibuktikan lebih terinci melalui penelitian berdasarkan prinsip2 ilmiah.

Bagaimanapun juga deskripsi peringkat peraih kemenangan Pilkada 2017 di atas sebagai kemerosotan elektabilitas PDIP dapat menjadi salah satu faktor sangat mungkin Jokowi gagal Pilpres 2019. (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.