Jumat, 19 April 24

Ini Penyebab NU Keluar dari Masyumi dan PPP

Ini Penyebab NU Keluar dari Masyumi dan PPP
* Kampanye Partai Nahdlatul Ulama (NU) dalam Pemilu 1971.

Jakarta, Obsessionnews.com – Nahdlatul Ulama (NU) merasa diperlakukan tidak adil dalam Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi. Sikap tidak menghormati ulama dan jatah menteri agama menjadi alasan NU meninggalkan Masyumi.

Mohammad Saleh, walikota Yogyakarta yang juga tokoh Masjumi (dari Muhammadiyah), bikin perkara. Dalam Kongres Masyumi di Yogyakarta pada Desember 1949, dia menyindir para kiai.

“Politik adalah luas. Politik ini saudara-saudara, tidak bisa dibicarakan sambil memegang tasbih, jangan dikira scope-nya politik ini hanya di sekeliling pondok dan pesantren saja. Dia luas menyebar ke seluruh dunia,” kata Saleh.

Terang saja orang-orang NU tak terima. Mereka protes keras dan menuntut Saleh mencabut perkataannya. Saleh bergeming. Sekitar 30 orang NU pun meninggalkan ruang kongres.

Dalam Kongres, menurut sebagian kalangan NU, ada di antara peserta yang tak memperlihatkan rasa hormat kepada ulama. Peserta ini menganggap lulusan sekolah Belanda lebih superior ketimbang lulusan sekolah agama.

Dalam kongres itu Mohammad Natsir terpilih sebagai ketua umum dan para pendukungnya memenangkan mayoritas kursi di Dewan Pimpinan Partai. Sukiman Wirjosandjojo, yang lebih disukai NU karena dianggap moderat dan luwes, didudukkan sebagai presiden partai, sebuah jabatan yang baru diciptakan namun kurang berpengaruh, dan banyak pengikutnya kehilangan kedudukan.

Dalam kongres itu pula NU merasa kian tersisihkan. Fungsi Majelis Syuro, yang berisi para kiai atau ulama, dipreteli dan menjadi hanya sebagai dewan konsultatif yang tak mempengaruhi kebijakan partai.

“Perubahan peran ulama dan Majelis Syuro ini merupakan penyebab utama pertikaian antara NU dan kelompok Natsir,” tulis Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967.

Kongres juga menolak usulan NU untuk mengubah struktur Masyumi. NU menuntut perubahan Masyumi menjadi suatu federasi dengan alasan hal itu akan menjamin pembagian kekuasaan yang lebih proporsional.

“Hubungan antara Masyumi dan NU tidak pernah pulih sejak peristiwa Kongres 1949,” tulis Fealy.

Kemarahan yang meluas di kalangan NU terhadap keputusan-keputusan kongres mendorong kelompok-kelompok di dalamnya mulai berkampanye tentang penarikan diri dari Masyumi.

Masyumi

Masyumi, satu-satunya partai politik yang menyalurkan aspirasi politik umat Islam, dibentuk pada Kongres Umat Islam yang dihelat di Gedung Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah Yogyakarta pada 7-8 November 1945. Organisasi-organisasi Islam, termasuk NU, menjadi anggota istimewa. Selain organisasi, Masyumi menerima anggota perorangan.

NU menyambut dengan antusias pergeseran peran politik itu. “Pada waktu berkongres di Purwokerto tahun 1946, Nahdlatul Ulama telah menganjurkan kepada anggota-anggotanya untuk membanjiri partai politik Masyumi, sehingga Nahdlatul Ulama benar-benar merupakan tulang punggung Masyumi,” tulis H. Aboebakar dalam Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim.

Sejak didirikan, muncul faksi dalam tubuh Masyumi antara kelompok Sukiman yang konservatif dan Natsir yang moderat. Organisasi istimewa yang tergabung ke Masyumi terseret dalam arus. NU lebih dekat dengan kelompok Sukiman, sementara Muhammadiyah sebaliknya.

Perbedaan itu juga tampak dalam kepengurusan Masyumi. NU mendapatkan kedudukan sebagai ketua Masjelis Syuro (Hasjim Asj’ari), wakil ketua II (KH Wahid Hasjim), namun hanya mendapat tiga kursi di jajaran eksekutif (Masjkur, A. Dahlan, dan Faturrahman). Sementara Muhammadiyah tak hanya menikmati kedudukan kuat di Majelis Syuro, tapi juga mendudukkan lima wakilnya dalam jajaran Pengurus Besar.

“Ketimpangan ini masih bisa ditenggang para ulama NU. Karena, benteng pertahanan mereka satu-satunya, Majelis Syuro, semula berperan luhur dalam roda kehidupan Masyumi,” tulis Remy Madinier dalam Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral.

Selama masa itu, Majelis Syuro bisa melibatkan diri dalam perdebatan dan memberikan pertimbangan soal-soal politik yang bersinggungan dengan agama kepada pimpinan pusat partai. Kepemimpinan Sukiman, yang cenderung merangkul semuanya, juga melegakan mereka.

Di masa revolusi, Masyumi berada di luar pemerintahan. Masyumi terus mengecam perundingan dengan Belanda, namun hasrat untuk menentukan haluan negara bergejolak di tubuh Masyumi. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) bukan hanya berdiri kembali sebagai partai tapi juga keluar sebagai anggota istimewa Masyumi agar bisa masuk dalam Kabinet Amir Sjarifuddin.

Karena Masyumi tak lagi menjadi satu-satunya partai Islam, dalam kongres-kongres Masyumi maupun rapat-rapat DPP Masyumi, NU kerap mengusulkan agar Masyumi diubah menjadi badan federasi. Namun usul NU selalu diabaikan.

“Memang, partai yang bersifat federasi mungkin besar (dan bisa lebih besar daripada Masjumi sendiri), tetapi ini tidak menjamin bahwa partai akan menjadi lebih kuat, kata mereka,” tulis Deliar Noer dalam Partai Islam di Pentas Nasional. “Mungkin sekali partai akan menjadi tempat pertarungan atau perebutan antara organisasi anggota. Partai pun akan lebih pasif, dan dengan demikian ia bukan memimpin, melainkan dipimpin.”

Agresi militer Belanda akhirnya mendorong Masyumi ambil bagian dalam kabinet. Peranan Masyumi dan tokoh-tokohnya, terutama dari faksi Natsir, begitu kuat di masa Kabinet Hatta. Ini terlihat dalam kongres Masyumi di Yogyakarta, yang keputusan-keputusannya menimbulkan hasrat NU untuk memisahkan diri dari Masyumi. Yang paling getol menyuarakan itu adalah Wahab Chasbullah.

Titik Didih

Dalam Muktamar NU ke-18 di Jakarta, Mei 1950, Wahab Chasbullah mendesak penarikan diri dari Masyumi. Dalam pidatonya, Wahab mengatakan dengan berapi-api bahwa kekuatan NU ibarat meriam.

“Banyak pemimpin NU di daerah-daerah dan juga di pusat tidak yakin akan kekuatan NU, mereka lebih meyakini kekuatan golongan lain,” ujar Wahab. “Pemimpin NU yang tolol itu tidak sadar akan siasat lawan dalam menjatuhkan NU melalui cara membuat pemimpin NU ragu-ragu akan kekuatan sendiri.”

Namun sebagian besar utusan merasa masih terlalu dini. Muktamar hanya mengulangi permintaan agar Masyumi berubah menjadi federasi.

Namun, secara diam-diam, NU mulai mempersiapkan diri untuk peran politik yang lebih besar. Pada awal 1951, Pengurus Besar NU (PBNU) membentuk Majelis Pertimbangan Politik (MPP), yang diketuai KH Muhammad Dachlan. Selain memberi nasihat mengenai masalah-masalah politik sehari-hari kepada PBNU, MPP juga menyusun rencana bagi NU untuk menjadi partai politik.

Titik didih muncul ketika Kabinet Sukiman jatuh. Wahab bergerak cepat untuk mengamankan jatah NU di kabinet berikutnya. Dia menemui Presiden Sukarno di Istana Kepresidenan pada akhir Februari 1952. Selama Maret, melalui siaran pers maupun serangkaian surat, dia melancarkan tekanan kepada Masyumi disertai ancaman keluarnya NU. Dia menginginkan kabinet koalisi di bawah Sukiman, yang lebih disukai NU, dengan Wahid Hasyim sebagai menteri agama. Bila Hasyim tak bersedia, NU akan mengajukan empat calon lainnya.

“Wahab telah bertindak tanpa berkonsultasi dengan dewan pengurus NU,” tulis Greg Fealy.

Pimpinan Masyumi tak hanya menolak tapi juga mengecam tuntutan itu. Mereka berdalih bila ultimatum NU dipenuhi akan menjadi preseden buruk bagi partai. Ketika rapat pimpinan Masyumi tak juga mengambil keputusan, Wahab menemui Wilopo dari PNI sebagai formatur kabinet untuk mengemukakan keinginan NU.

Karena geram, pimpinan Masyumi memutuskan menyerahkan pilihan calon menteri agama bukan kepada formatur, melainkan pemungutan suara dalam rapat partai. Calon terpilih jatuh kepada KH Fakih Usman dari Muhammadiyah. Wilopo menyetujuinya.

Upaya Wahab untuk mempertahankan Kementerian Agama sebagai benteng pertahanan NU pun gagal.

Kendati banyak yang tak setuju dengan cara-cara Wahab, tumbuh kekecewaan yang meluas di kalangan NU atas perlakuan Masyumi. Wahid Hasyim dalam catatan tahun 1952 menyebut perkembangan yang tak sehat dalam diri Masyumi, yang kerap diejek sebagai gajah bengkak yang menderita beri-beri.

Aksi Tanpa Reaksi

Menyusul pengumuman Kabinet Wilopo, PBNU menggelar rapat di Jagalan, Jombang, pada 5-6 April 1952 untuk membicarakan masalah hubungan dengan Masyumi. Sebagian utusan setuju penarikan diri. Ketika ada yang mengusulkan menyerahkan keputusan pada Muktamar, Wahab menentang dan mendesak PBNU ambil keputusan. Dia pula yang akan mengambil tanggungjawab keputusan itu di depan Muktamar.

“Kami [PBNU] kemudian akan mengambil tanggung jawab atas keputusan ini di depan Muktamar. Jika Muktamar menerimanya, berarti kita mendapatkan dukungan kuat. Kalau tidak, kami akan mundur. Selanjutnya, terserah Muktamar memilih kepengurusan baru,” ujar KH Muchith Muzadi, yang menjadi peninjau dalam konferensi itu, dikutip Fealy.

Rapat akhirnya memutuskan NU keluar dari Masyumi dan ditetapkan dalam Surat Keputusan PBNU tanggal 5/6 April 1952. Keputusan ini dibawa ke Muktamar NU ke-19 di Palembang pada 28 April-1 Mei 1952.

Dalam Mukmatar, kebanyakan tokoh NU setuju bila NU menjadi partai. Namun ada sekelompok kecil utusan yang memberikan perlawanan sengit. Wahid Hasyim mencoba menjadi perantara untuk mencapai kompromi. Namun Wahab tak mau mengalah.

“Kalau tuan-tuan ragu kepada kebenaran sikap yang kita ambil, nah silakan saja tuan-tuan tetap duduk dalam Masyumi. Biarlah saya sendiri pimpin NU sebagai partai politik yang memisahkan diri dari Masyumi. Saya cuma minta ditemani satu orang pemuda, cukup satu orang, sebagai sekretaris saya. Tuan-tuan boleh lihat nanti,” ujar Wahab, dikutip Saifuddin Zuhri dalam otobiografinya Berangkat dari Pesantren.

Pemungutan suara pun dilakukan. Hasilnya: 61 setuju NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik, 9 kontra, dan 7 abstain. Muktamar juga mengamanatkan untuk tetap mendorong Masyumi agar menjadi badan federasi.

Untuk melaksanakan keputusan Muktamar, PBNU membentuk delegasi, yang dipimpin Zainul Arifin, untuk merundingkan pelaksanaan pemisahan dengan Masyumi. Pertemuan pertama diadakan pada 22 Mei 1952. Pihak Masyumi dipimpin Wakil Ketua DPP Masyumi Prawoto Mangkusasmito dan dihadiri anggota-anggota DPP yang lain.

Pertemuan tersebut lebih tepat merupakan suatu persidangan untuk mengadili NU selaku pihak tertuduh,” kata Saifuddin Zuhri.

Masing-masing anggota DPP Masyumi mengemukakan pendirian berbeda-beda. Delegasi NU meminta pendirian Masyumi secara resmi, bukan perorangan, dan dituangkan secara tertulis. Delegasi NU tak bersedia meneruskan perundingan. Pada pertemuan malam harinya, hal yang sama terjadi. Setelah itu, Masyumi tak bersedia melanjutkan perundingan.

“Saat itu, Pimpinan Pusat Masyumi seakan tidak menghiraukan apa yang terjadi: keputusan kaum tradisionalis disambut dengan sikap masa bodoh dan skeptis,” tulis Remy Madinier.

PBNU mengirimkan nota penjelasan tertanggal 18 Mei 1952 tentang konsepsi PBNU mengenai perundingan NU-Masyumi. Penjelasan itu terdiri dari lima butir pokok-pokok pikiran yang tertuang sepanjang empat halaman.

“Semua pendirian NU mengenai pemisahan dirinya dari Masyumi sengaja dituangkan dalam bentuk tertulis agar pikiran tenang,” kata Saifuddin. “Satu dan lain untuk membantah timbulnya fitnah yang menuduh NU sebagai pemecah kesatuan.”

Untuk menampik tudingan memecah persatuan umat Islam, NU bersama PSII dan Perti membentuk Liga Muslimin Indonesia pada 30 Agustus 1952. Selain ketiga partai itu, anggotanya adalah Dar al-Da’wah wal-Irsyad dari Parepare Sulawesi Selatan dan Persyarikatan Tionghoa Islam Indonesia yang berpusat di Makassar.

“Perkumpulan ini, yang cukup luwes mengakomodasi kehendak ketiga partai untuk menjaga kemandiriannya masing-masing, tak mampu secara berkelanjutan menggantikan kedudukan Masjumi karena lemahnya persatuan,” tulis Remy Madinier.

Langkah lain diambil. Ketika Parlemen bersidang pada 17 September 1952, wakil NU menarik diri dari Fraksi Masyumi dan membentuk fraksi sendiri. Mereka adalah AA Achsien, AS Bachmid, Idham Chalid, Mohammad Ilyas, RT Mohd. Saleh Surjaningprodjo, Wahab Chasbullah, dan Zainul Arifin (kemudian diganti Saifuddin Zuhri).

Berlaga pada Pemilu 1955 dan 1971
NU resmi keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik. Partai NU ikut berlaga pada Pemilu 1955. Dalam pemilu pertama yang digelar di Indonesia tersebut Partai NU meraih 91 kursi DPR atau duduk di peringkat ketiga setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mendapat 119 kursi dan Masyumi 112 kursi. Partai NU unggul dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berada di posisi keempat dengan perolehan 80 kursi.

Keputusan NU keluar dari Masyumi tepat, karena Presiden Sukarno membubarkan Masyumi pada 1960. Penyebabnya adalah tokoh-tokohnya dicurigai terlibat dalam gerakan pemberontakan dari dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Pada tahun 1966 pemerintahan Sukarno jatuh sebagai dampak dari pemberontakan G-30-S/PKI. Panglima Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayjen Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Sukarno. Soeharto menyatakan PKI adalah pihak yang bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.  Dan PKI dinyatakan sebagai partai terlarang.

Soeharto mengambil alih kekuasan dari tangan Soekarno secara de facto pada 1966. Soeharto kemudian resmi menjadi presiden pada 1968.

Di era Orde Baru (Orba) pimpinan militer itu untuk pertama kali digelar pemilu pada tahun 1971 yang diikuti oleh 10 partai politik (parpol), yakni  Partai Katolik, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Golongan Karya (Golkar), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).

Secara mengejutkan Golkar tampil sebagai juara. Golkar menyabet 236 kursi DPR dari total 360 kursi. Diikuti Partai NU (58), Parmusi (24), PNI (20), PSII (10), Parkindo (7), Partai Katolik (3), dan Perti (2). Sedangkan Murba dan IPKI tak memperoleh kursi.

Golkar didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964 oleh TNI Angkatan Darat untuk menandingi pengaruh PKI. Tokoh sentral Golkar adalah Soeharto. Ia menjadi Ketua Dewan Pembina Golkar yang berpengaruh besar dalam mengambil berbagai kebijakan.

Penyederhanaan Parpol

Kemenangan Golkar pada Pemilu 1971 membuat posisi Presiden Soeharto menjadi kuat.  Orba identik dengan Golkar. Berbagai terobosan dilakukan Orba  agar Golkar tetap besar, yakni menyederhanakan jumlah parpol.

Tahun 1973 empat parpol Islam, yakni Partai NU, Parmusi,  PSII, dan Partai Perti difusikan menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PPP didirikan tanggal 5 Januari 1973. Partai berlambang Kakbah ini didirikan oleh lima deklarator yang merupakan pimpinan empat partai Islam peserta Pemilu 1971 dan seorang ketua kelompok persatuan pembangunan, semacam fraksi empat partai Islam di DPR. Para deklarator itu adalah KH Idham Chalid, Ketua Umum PB Nadhlatul Ulama, H.Mohammad Syafaat Mintaredja, Ketua Umum Parmusi Parmusi, Haji Anwar Tjokroaminoto Ketua Umum PSII, Haji Rusli Halil, Ketua Umum Partai Islam Perti, dan Haji Mayskur Ketua Kelompok Persatuan Pembangunan di Fraksi DPR.

Sementara itu  pada tanggal 10 Januari 1973 lima parpol nasionalis, yakni Partai Katolik, Parkindo, Partai Murba, PNI, dan IPKI, dilebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Pemilu 1977 diikuti Golkar, PPP, dan PDI. Padahal pemilu tersebut Golkar keluar sebagai pemenang dengan meraih 232 kursi dari total 360 kursi DPR. PPP berada diperingkat kedua dengan memperoleh 99 kursi. Sedangkan PDI menduduki posisi ketiga dengan mendapat 29 kursi.

Pada Pemilu 1982 Golkar kembali berjaya dengan meraih 242 kursi dari total 360 kursi DPR. PPP kembali menjadi runner up dengan memperoleh 94 kursi. PDI menempati peringkat ketiga dengan menyabet 24 kursi.

 

Keluar dari PPP
Pemerintah menciptakan konflik di tubuh PPP. Pada tahun 1978 ‘dikudeta’ secara dramatis tanpa melalui rapat partai maupun muktamar oleh John Naro yang didukung pemerintah. Akibatnya perpecahan antara kubu tradisional dan modernis tak terelakkan lagi. John Naro yang mewakili kubu modernis (Parmusi) secara sepihak melakukan perubahan radikal dengan menyingkirkan banyak sekali politisi NU. Baik dalam susunan kepengurusan partai maupun dalam penentuan daftar calon sementara (DCS), di mana banyak sekali politisi NU yang harus terpental dari nomor urut jadi menjelang Pemilu 1982.

Bagi NU, apa yang dilakukan John Naro ini tak ubahnya seperti perlakuan Masyumi terhadap NU pada era Orde Lama, di mana NU merasa perannya dipinggirkan.

Gaya otoriter John Naro ini mrmbuat NU gerah. Tahun 1984 akhirnya NU memutuskan keluar dari PPP dan kembali ke khittah 1926, yakni tidak lagi terlibat dalam politis praktis.

Memang NU secara organisatoris telah keluar dari PPP, tapi memberikan kebebasan pada para anggotanya untuk bergabung dengan partai politik manapun hingga kini. (arh/historia.co dan sumber lainnya)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.