Jumat, 26 April 24

Hukum dan Demokrasi yang Terjajah Kekuasaan

Hukum dan Demokrasi yang Terjajah Kekuasaan

Oleh: Ferdinand Hutahaean (Aktivis Rumah Amanah Rakyat/Mantan Tim Jokowi)

Semingu terakhir situasi politik dan hukum di negara ini praktis menghadapi ujian yang tidak ringan. Meski menjadi perhatian publik secara besar-besaran, namun Pemerintah dengan sikapnya tampak menikmati kemelut ini seakan menjadi berkah tersendiri karena rakyat menjadi sibuk dengan kondisi berbantah lisan, hingga lupa akan tekanan ekonomi dan tekanan harga-harga bahan pokok yang tak kunjung turun harganya. *Pemerintah juga tampaknya sangat menikmati kondisi riuh ini karena rakyat jadi terbelah dan tidak fokus kepada harga listrik yang subsidinya dicabut dari sekitar 19 juta perlanggan daya 900 VA.*

*Diamnya pemerintah atas Hak Angket KPK bagi saya adalah sebuah sikap yang menegaskan bahwa Pemerintah berada di pihak yang turut serta mengambil mamfaat dari Angket tersebut untuk kepentingan kelompoknya.* Sebut saja contohnya Partai Golkar yang kini menjadi salah satu mitra strategis pemerintahan Jokowi yang mana Ketua Umumnya Setya Novanto disebut-sebut dalam dakwaan Korupsi EKTP bahkan sudah berkali-kali dipanggil KPK untuk dimintai keterangannya. Dan atas itu pula, Setya Novanto bahkan telah di cekal oleh KPK tidak boleh bepergian ke luar negeri. *Sebuah indikasi kuat bahwa Setya Novanto memang sangat patut diduga terlibat dalam kasus korupsi EKTP tersebut. Namun ironisnya, saat ini keterlibatan itu seakan tenggelam seiring angket terhadap KPK.* Sebuah langkah strategis dan taktis untuk tawar menawar posisi dan saling sandera kepentingan. *Kau telanjangi aku, kutelanjangi kau, Kau tutupi aku, Kututupi kau. Mungkin begitulah kira-kira kalimat sakti didalam hati mereka.* Sekali lagi… itupun mungkin, mungkin juga saya tang terlalu berimajinasi.

Beruntunglah KPK yang meski memang perlu perbaikan tapi tidak lewat angket, masih mendapat dukungan secara konsisten dari sedikit partai politik di DPR, salah satunya *Partai Demokrat yang konsisten dengan sikapnya tidak mau ikutan latah dalam angket KPK, terlebih angket itu sarat kepentingan pihak-pihak terkait EKTP. Yang justru menjadi pertanyaan besar dan menggelitik adalah, mengapa Jokowi diam dan tidak mendukung KPK? Bukankah dulu Jokowi berjanji memperkuat KPK?* Ahhh… memang lidah tak bertulang, janji pun tinggal janji seiring kepentingan diatas kepentingan.

Tragedi hukum yang semakin terjajah itu pun semakin menarik untuk dicermati. Cobalah kita sedikit melihat kasus Hari Tanoe Soedibyo Ketua Umum Perindo. Kasus SMS yang katanya sebagai ancaman itu tiba-tiba menyeretnya menjadi Tersangka. Itupun masih simpang siur, karena kemarin keterangan sebagai tersangka itu bukan didapat dari Polisi yang menyidik namun didapat dari Jaksa Agung yang kabarnya telah menerima Surat Pemberitahuan Penyidikan Dalam Perkara dari pihak penyidik kepolisian.

*Saya hanya berpikir, jika SMS seperti yang disampaikan oleh Hari Tanoe itu sudah dianggap sebagai ancaman, dimana lagi ruang kritik dan koreksi bagi publik?* Tidak ada nada kekerasan didalam pesan singkat tersebut, hanya lebih kepada kegusaran seseorang yang merasa dirinya dipermainkan secara hukum. *Nampaknya untuk sekedar kritis pun menjadi ancaman bagi rejim berkuasa ini.* Saya terkadang jadi menduga-duga, jangan-jangan Hari Tanoe sedang dimintai pertanggung jawaban karena jejaknya di pilkada Jakarta kemarin. Ahhh… mudah-mudahan tidak.

Selain Dua pokok topik diatas, masih ada banyak topik terkait hukum yang bagi saya adalah bentuk penjajahan kepada hukum itu sendiri. Kekuasaan politik telah diadikan alat untuk menjajah hukum, ini akan menjadi ancaman bagi masa depan hukum dan demokrasi di negara ini.

Cobalah kita lihat sikap ngotot dan keras dari Pemerintah terkait Rancangan Undang-undang Pemilu. *Kerasnya sikap Pemerintah yang tidak mau memikirkan masa depan bangsa dan demokrasi justru mematok syarat pencalonan presiden diangka 20% atau 25%. Syarat ini adalah pemberangusan bagi Demokrasi karena akan menutup munculnya calon-calon presiden alternatif yang berkualitas namun minim dukungan partai.* Politik memang adalah kepentingan berkuasa, namun politik tidak boleh digunakan untuk menerangus demokrasi dan menghambat hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih.

Untuk apa Pemerintah ngotot dengan syarat tinggi tersebut? Tidak ada alasan lain kecuali demi kepentingan melanjutkan kekuasaan yang telah rapuh dari rakyat namun mengendalikan alat negara. Inilah menurut saya pokok masalahnya. *Elektabilitas Jokowi yang semakin hari semakin menurun karena kinerja yang buruk menjadikan ketakutan untuk berkompetisi di Pilpres 2019. Maka calon-calon berkualitas harus dihambat, bahkan kalau perlu diupayakan menjadi calon tunggal.* Ini berbahaya.

*Jokowi sebagai petahana, seharusnya tidak perlu takut berkompetisi misalnya dengan Prabowo, Hutomo Mandala Putra, Hari Tanoe, Yusril Ihza Mahendra, Zulkifli Hasan, Muhaimin Iskandar, Tuan Guru Bajang dari NTB atau bahkan dengan Agus Harimurti Yudhoyono yang pendatang baru kancah perpolitikan nasional.* Jika memang benar Jokowi masih dicintai rakyat dan berhasil dalam kinerjanya, maka biarkan seluruh rakyat bahkan calon independent sekalipun boleh mencalonkan diri sebagai calon presiden. Toh rakyat pemilik suara akan memilih yang baik menurut pikirannya. Jadi akan lebih baik jika Jokowi membiarkan demokrasi berjalan tanpa rekayasa politik.

*Tidaklah elok menjajah hukum dan demokrasi demi melanggengkan kekuasaan. Jika memang berhasil dan di cintai rakyat, maka Jokowi tidak usah takut berkompetisi hingga harus bersusah payah merancang siapa kompetitornya nanti 2019.*

Jakarta, 17 Juni 2017

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.