Sabtu, 20 April 24

Dr. Jekyill, Mr. Hyde, dan Korupsi Masa Kini

Oleh: Hariman Satria, Staf Pengajar FH Univ Muhammadiyah Kendari, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UGM

 

Melalui karyanya, Strange Case of Dr. Jekyll and Mr Hyde, Robert Louis Stevenson menyampaikan banyak pesan moral. Novel yang terbit sekitar 1886, tersebut, mengisahkan seseorang yang memiliki kepribadian ganda. Pada satu sisi ia tampak seperti orang baik, jujur, sopan, dan sarat kesantunan. Pada sisi berbeda, dia jahat, amoral, dan penuh angkara.

Tiga belas dekade kemudian, pesan itu menjelma menjadi kenyataan. Bangsa ini tiba-tiba sadar, bahwa karakter dalam kisah fiksi Dr. Jekyll dan Mr Hyde, tersebut, ternyata begitu dekat dan teramat nyata. Dia bisa menjadi wakil rakyat yang kasus korupsinya di sana-sini menjerat, birokrat berwibawa yang tiba-tiba muncul di televisi mengenakan baju tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), atau penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan advokat) yang justru tersandung kasus hukum.

Ya, Dr. Jekyll dan Mr. Hyde adalah cerminan koruptor masa kini. Dalam keseharian, mereka selalu menunjukkan sikap prorakyat. Namun di balik itu, sesungguhnya mereka adalah penjarah uang rakyat.

Dalam konteks koruptor di Indonesia, ranah Dr. Jekyll dan Mr. Hyde begitu luas ditemui. Mulai eksekutif, legislatif, hingga penegak hukum. Lihat saja kasus-kasus korupsi yang melibatkan menteri, seperti kasus Hambalang dan kasus dana haji; yang melibatkan anggota DPR seperti kasus korupsi anggaran; dan yang melibatkan penegak hukum, seperti sengketa Pilkada. Lainnya, masih banyak lagi.

Untuk ranah eksekutif, korupsi yang mereka lakukan sering disebut bribery of national public official yakni penyuapan pada pejabat negara.

Pada ranah legislatif, terdapat dua jenis korupsi mereka lakukan, yakni political bribery dan tradding in influence. Political bribery adalah korupsi pada saat suatu peraturan perundang-undangan dibuat yakni terjadi praktik jual beli pasal atau sengaja melakukan “kudeta redaksional” terhadap suatu rancangan undang-undang sehingga teks undang-undang ada yang hilang pada saat disahkan. Kasus pasal tembakau dalam undang-undang kesehatan adalah contoh nyata political bribery.

Sedangkan tradding in influence adalah upaya untuk memperdagangkan pengaruh sehingga memperoleh keuntungan materil. Dalam hal ini, kasus reklamasi Teluk Jakarta adalah contoh.

Untuk korupsi di pengadilan, mereka melakukan judical corruption. Bentuknya illegal corruption, yakni korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan sengaja salah menerapkan undang-undang pidana dengan tujuan menguntungkan koruptor.

Terkait dengan itu, Edwin H. Sutherland kriminolog Amerika Serikat, dalam Principle of Criminology (1960:82) memperkenalkan istilah white collar criminals. Terminologi ini dibuat oleh Sutherland untuk membedakan antara kejahatan kelas atas (crime in the upper or white collar class) dan kejahatan kelas bawah (crime in the lower class).
White collar class digambarkan sebagai pelaku kejahatan yang terhormat, dihargai, para pebisnis dan pekerja profesi. Termasuk dalam kelompok ini adalah koruptor. Sedangkan crime in the lower class bercirikan seseorang yang memiliki status sosial ekonomi rendah.

Kata JE Sahetapy, koruptor sebagai white collar class bercirikan: mengunakan pena, berdasi, berparfum, menggunakan mobil mewah dalam melakukan kejahatan. Transaksi korupsi mereka semakin lancar, karena didukung fasilitas jabatan ditambah kewenangan yang sangat besar. Tidak mengherankan kalau Lord Acton mengemukakan sebuah postulat: kekuasaan itu cenderung korup, kekuasaan yang absolut korupsinya juga mutlak.

Guna menghindari dan menghapus sampai ke akar-akarnya fenomena Dr. Jekyll and Mr. Hiyde tersebut, penulis memiliki beberapa catatan. Pertama, ibarat ikan busuk, bau busuk terletak di kepala ikan, bukan ekor. Jadi, pemberantasan korupsi harus dimulai dari atas tanpa pandang bulu. Dengan kata lain, yang harus dibersihkan terlebih dahulu adalah hulu dan akan berakhir di hilir.

Kedua, harus ada metode in house cleaning dalam segala bidang, yakni gerakan membersihkan institusi dari mental-mental yang korup dan rakus.

Ketiga, kaitannya dengan poin kedua – khusus pada penyelenggara negara dan aparat penegak hukum, perlu dilakukan fit and proper test yang terbuka, jujur dan akuntabel dengan memperhatikan nilai intelektual dan integritas sebagai pedoman utama.

Keempat, atau yang terakhir adalah peningkatan kualitas kesejahteraan aparatur negara tidak terkecuali aparat penegak hukum yang tentu saja hal ini merupakan tugas legislatif dan eksekutif untuk memikirkannya.

Pepatah Belanda mengatakan, “Zachte Heelmester Maken Stinkende Wonden.” Artinya, luka  bernanah harus dibersihkan dengan tegas kendatipun akan berdarah, agar tidak berbau busuk dan menjadi  lebih besar. Dalam konteks pemberantasan korupsi, jika terdapat aparat penegak hukum dan pemerintah yang kotor karena terjamah korupsi, maka harus segera ditindak agar tidak menjangkiti yang lain.

Terakhir, mengutip argumentasi Denny Indrayana dalam Cerita di Balik Berita: Jihad Melawan Mafia, penulis sampaikan bahwa tulisan ini bertujuan untuk Indonesia yang lebih baik, lebih adil, lebih antikorupsi, dan lebih antimafia. Harapannya, agar tidak ada lagi koruptor masa kini, selayaknya fenomena Dr. Jekyll dan Mr. Hyde. Salam anti korupsi. (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.