Selasa, 23 April 24

Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara: Pelantikan Oso Tidak Sah

Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara: Pelantikan Oso Tidak Sah
* Diskusi polemik DPD RI.

Jakarta, Obsessionnews.com – Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) yang diketuai oleh Mahfud MD menyatakan, bahwa kemelut yang terjadi di tubuh DPD merupakan persoalan serius yang harus segera dicarikan solusinya guna memperkuat sistem ketatanegaraan Indonesia.

Pertama, terkait dominasi anggota DPD dari partai politik yang lebih dari 50%. Situasi ini dianggap telah merusak bangunan bikameral yang diatur dalam UUD 1945. Di mana DPD diisi oleh perwakilan daerah atau perseorangan, sedangkan DPR ‎diisi oleh perwakilan partai.

Kedua, terpilihnya Ketua Umum Hanura Oesman Sapta alias Oso ‎sebagai Ketua DPD dianggap bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Tata Tertib DPD No 1 Tahun 2016 dan Tata Tertib DPD No 1 Tahun 2017.

Ketiga, terkait kehadiran wakil Ketua MA dalam pelantikan Oesman Sapta yang dianggap bertentangan dengan putusannya sendiri.

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, upaya hukum yang bisa dilakukan untuk melawan pelantikan Oesman Sapta sebagai Ketua DPD, bisa dengan menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Nanti yang diperiksa adalah surat yang melantik pimpinan. Pimpinan itu pasti ada surat keputusannya. Nah surat keputusan itu yang bisa digugat ke PTUN,” ujar Bivitri yang juga sebagai Ketua APHTN-HAN Wilayah Jakarta, dalam diskusi publik di Kuningan, Jakarta, Kamis (6/4/2017).

Selain itu  Bivitri mengatakan, ‎langkah hukum juga bisa dilakukan dengan meminta kepada Komisi Yudisial untuk melakukan pemeriksaan terhadap hakim MA yang dianggap telah melanggar aturan dengan melantik Oesman Sapta.

“KY bisa menyelidiki apakah kehadiran Wakil Ketua MA Suwardi melanggar etik atau tidak. KY nanti sifatnya bisa memberikan rekomendasi,” katanya.

Meski tidak yakin usaha ini akan berhasil, karena diketahui semua jalur hukum yang akan ditempuh itu nantinya akan bermuara ke MA. Namun, menurut Bivitri usaha ini tetap harus dilakukan untuk memberikan pelajaran bagi masyarakat bahwa apa yang dilakukan oleh pejabat dan penegak hukum ini tidak benar.

“Ini tetap dilakukan biar bisa‎ menganggu kekuasaan itu. Pemberitaan dan acara diskusi mungkin bagi mereka tidak ada artinya. Tapi kalau diganggu secara hukum paling tidak mereka tidak nyaman dengan posisi itu. Dan juga ini bisa memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa apa yang mereka lakukan salah,” terangnya.

Sementara itu, Ketua Aliansi Nusantara T. Budiman ‎Soelaim yang hadir dalam acara diskusi itu menyatakan, sudah tidak ada lagi perangkat hukum yang membenarkan pelantikan Oesman Sapta sebagai Ketua DPD. Sebab, aturan dan UU-nya jelas bahwa kepemimpinan DPD itu selama lima tahun.

“Dalam UU MD3 dan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa yang berhak melantik Ketua DPD, DPR, MPR adalah Ketua MA, bukan wakil ketua,” katanya.

Untuk itu, upaya yang bisa dilakukan untuk melawan ini melalui rule of law dan rule of etik, yakni dengan menggugat ke PTUN dalam sisi rule of law-nya. Dan melaporkan ke KY dalam sisi pelanggaran etiknya. “Kalau hakimnya bermasalah maka aturan yang dibuatnya pun menjadi bermasalah,” jelasnya.

Lebih lanjut Budiman mengatakan, dengan bertemunya hakim Suwardi dengan anggota DPD Gede Pasek Suardika dan pihak Sekretaris Jenderal DPD jelas melanggar etik. ‎Pasalnya, diketahui bahwa DPD adalah pihak yang saat ini sedang berperkara, sehingga demi menjaga integritas pertemuan itu dianggap menyalahi etik.

“Orang yang sedang berperkara lalu diterima oleh MA kemudian membuat sebuah permufakatan untuk melantik ketua baru. Jadi pelanggaran pertemuan itu etik. Hakim yang adil mestinya tidak mau menerima pihak yang berperkara ‎supaya biaya bebas intervensi,” jelasnya. (Albar)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.