Jumat, 19 April 24

Apakah Pertemuan GNPF MUI dan Jokowi Berdampak Positif?

Apakah Pertemuan GNPF MUI dan Jokowi Berdampak Positif?

Oleh: Muchtar Effendi Harahap, Peneliti Senior Network for South East Asian Studies (NSEAS), dan alumnus Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, tahun 1986

 

Pertemuan beberapa figur Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan Jokowi pada hari raya Idul Fitri di Istana Negara, Minggu (25/6/2017), sungguh mengundang pro kontra. Kekuatan Islam politik menunjukkan sikap antipati atas peristiwa pertemuan itu. Sedangkan yang pro Jokowi umumnya dari non Islam politik dan beberapa tokoh Islam kompromistis menunjukkan sikap simpati. Berbagai alasan diajukan untuk memperkuat sikap antipati atau simpati ini.

Dalam perspektif kepentingan Jokowi, pada prinsipnya berupaya untuk kembali menjadi Calon Presiden (Capres) Pilpres 2019 mendatang. Bagaimanapun, belakangan ini sudah ada kesadaran politik Jokowi untuk menghindarkan persepsi negatif umat Islam tentang dirinya karena mendukung Ahok penista agama Islam, dan kriminalisasi aktivis dan Uuama Islam yang kini masih berlangsung.

Sebagai pihak yang berkepentingan meningkatkan dukungan pemilih dan elektabilitas, Jokowi tentu dengan fasilitas jabatan Presiden dimiliki berupaya mencari simpati dan persepsi dan sikap positif umat Islam. Beragam cara dilakukan, antara lain mengunjungi beragam komunitas muslim dan terakhir bertemu dengan para elite umat Islam politik yang terlibat aksi damai Islam I,II dan III.

Pertemuan Jokowi dengan beberapa tokoh Islam saat Idul Fitri ini adalah satu upaya untuk mencari simpati dan dukungan politik dari umat Islam. Upaya Jokowi yang mengundang pro kontra ini tentu membantu diri Jokowi peningkatan citra positif di mata publik. Upaya ini secara politik rasional sekalipun terkesan “abuse of power” atau penyalahgunaan fasilitas negara untuk kepentingan politik pribadi. Secara hukum memang sah saja, tak ada larangan. Hanya secara moralitas politik menjadi persoalan.

Pertanyaan pokok yakni: apakah pertemuan itu berdampak positif berarti terhadap pencitraan positif dan elektabilitas Jokowi?

Jawabannya adalah TIDAK! Mengapa? Pertama, para tokoh Islam yang bertemu Jokowi bukanlah pemimpin dalam suatu organisasi umat terstruktur dan perkembangan di kalangan massa umat. Bahkan, dapat diklaim GNPF MUI ini sesungguhnya tak ada hubungan kelembagaan dengan MUI.Hanya menggunakan kata MUI saja.

GNPF MUI hanyalah bagaikan kelompok kajian semata usai aksi bela Islam I,II dan III. Bahkan, kayaknya lebih besar kini Presedium Alumni 212 yang melaksanakan aksi-aksi bela ulama.

Kedua, secara individual tokoh-tokoh Islam yang bertemu dngan Jokowi bukan pemimpin organisasi umat Islam permanen secara kelembagaan seperti Persis, Parmusi, Alwasliyah, FPI, atau KAHMI. Mereka hanya tokoh Islam tanpa organisasi terstruktur, sehingga tidak memiliki massa umat Islam di level bawah seperti kelas menengah perkotaan.

Ketiga, persepsi umat Islam politik cenderung negatif terhadap pertemuan itu dan tidak mendapat dukungan. Salah satu sebabnya para tokoh Islam itu tidak berjuang untuk mempengaruhi Jokowi agar membebaskan para aktivis dan Ulama Islam yang diskriminalisasi. Tidak ada catatan pertemuan terkait permintaan para tokoh GNPF MUI tersebut untuk membebaskan aktivis dan ulama dari jerat hukum pidana yang dikenakan pihak kepolisian.

Lalu apa manfaatnya pertemuan itu bagi perjuangan umat Islam politik kini?

Bisa jadi, justru hanya ada dampak negatif bagi para aktivis dan ulama yang sedang dikriminalisasi. Bagaikan pepatah bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.